«

»

Mengenal Allah

15 September 2012

Mungkin kita bertanya, mengapa masih perlu berbicara tentang Allah? Bukankah kita sudah sering mendengar dan menyebut nama-Nya. Bukankah kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita? Tidakkah itu sudah cukup untuk kita?

Janganlah merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Sebab semakin memahami dan mengenal-Nya kita akan merasa lebih dekat dengan-Nya. Dengan harapan kita dapat terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru dan terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.

Ketika kita membicarakan tentang ma’rifatullaah, artinya kita berbicara tentang Rabb, Malik dan Ilah. Rabb yang kita fahami dari istilah Al Quran adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Sedangkan kata Ilah mengandung arti yang Paling Dicintai, yang Paling Ditakuti dan yang menjadi Sumber Pengharapan.

Allah SWT sebagai Rabb mudah difahami oleh manusia dibandingkan memahami Allah sebagai Malik dan Ilah. Hal ini disebabkan karena memahami Allah sebagai Ilah mengandung berbagai konsekuensi di antaranya konsekuensi pengabdian dan mengikuti perintahNya. Kendala yang dialami dalam pemahaman dan pengamalan bahwa Allah sebagai sesuatu yang patut disembah disebabkan oleh pemahaman yang salah terhadap Islam dan kecenderungan individu kepada yang tidak benar.

Di dalam Quran surat An-Naas: 1-3 dan ayat-ayat lainnya, digambarkan peran Allah sebagai Rabb, Malik dan Ilah. Dengan dalil tersebut, usaha kita untuk lebih memahami dan mengenal Allah adalah hal terpenting di dalam hidup ini. Bagaimanakah jalan yang harus kita lalui untuk mengenal Allah SWT? Dan kita harus mengetahui apakah halangan-halangan yang ada dalam mengenal dan berdampingan dengan-Nya?

Jika merujuk kepada satu riwayat yang menyebutkan: “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenal Tuhan mu”. Hadits tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa dari pengenalan diri, menyebabkan kita mengenal (makrifah) yang menciptakan kita yaitu Allah. Allah pun berfirman ”Dalam dirimu, apakah kamu tidak memperhatikannya”. Dengan mengenal diri sendiri sebagai ciptaan Allah maka kita akan mengenal penciptanya. Pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan ruhani.

Setelah mengenal Allah, kita dituntut pula untuk makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.

Keyakinan terhadap Allah SWT menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang eksistensi (kewujudan) Allah yang melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini artinya kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang disebabkan oleh syirik kepada-Nya.

Kita harus berusaha menempatkan kehidupan ini di bawah bayangan tauhid dengan cara memahami tauhidullaah dengan benar. Sesuai dengan manhaj salafussaleh, yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al Quran maupun Sunah, yaitu tauhid asma-wa-sifat, tauhid rubbubiah, tauhid mulkiyah dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari tauhid tersebut.

Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar kepada yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selain-Nya, serta menjadikan cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Kita dituntut menyadari pentingnya melandasi seluruh aktifitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Jihad (perjuangan) secara minhaji.

Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu membentuk dua fungsi; yaitu sebagai pedoman hidup dan sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari pentingnya kedua bentuk ilmu Allah tersebut untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.

Sumber: Buku Kepribadian Muslim