«

»

Golput dan Calon Pemimpin

12 Maret 2014

Pagi hari Rabu (5/3/2014), persis di hari pelaksanaan pemungutan suara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Padang, diam-diam menggunakan kendaraan pribadi dan menyetir sendiri, saya berkeliling kota Padang. Saya mengamati aktifitas masyarakat kota Padang pagi itu, terutama aktifitas pemilihan langsung walikota Padang.

Ada dua kesan yang menonjol dari pengamatan saya. Pertama, Pilkada dilaksanakan secara sangat sederhana dan lebih hemat biaya. Teras-teras rumah penduduk, warung-warung yang tidak buka pagi hari atau berbagai tempat kosong dipakai sebagai tempat pelaksanaan Pilkada. Peralatan yang digunakan juga terlihat sangat sederhana, dengan konsep efisiensi dan penghematan.

Kesan kedua adalah, rata-rata TPS (Tempat Pemungutan Suara) masih terlihat sepi. Sekitar pukul 08.30 WIB, di salah satu TPS saya sempat mampir. Menurut petugas setempat dari 285 warga yang terdaftar sebagai pemilih, baru 35 orang yang telah melaksanakan hak pilihnya. Padahal berdasarkan undangan, TPS telah dibuka sejak jam 07.00. Hal serupa juga terjadi di TPS-TPS lain yang secara diam-diam saya kunjungi hingga pukul 09.30, terkesan sepi dan tak terlihat antusias warga.

Ternyata kekuatiran itu memang jadi kenyataan. Berdasarkan perhitungan akhir, dari 560.289 orang warga kota Padang, hanya 53,77 persen saja warga ibukota Sumatera Barat ini  yang melaksanakan hak pilihnya. Sisanya, hampir separuh warga kota tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput (golongan  putih).

Kenapa? Alasannya bisa bermacam-macam. Bisa jadi karena Pilkada sudah beberapa kali terundur, bisa jadi pula masyarakat lebih berkosentrasi untuk Pemilu Legislatif yang juga akan segera digelar tanggal 9 April mendatang dan banyak alasan lainnya.

Tidak ikut memilih alias golput walaupun merupakan keinginan masing-masing individu, tapi sebagai warga negara yang baik, kita dilarang Golput. Dalam sebuah sistem demokrasi, tentu saja golput bukanlah pilihan yang terbaik. Makin banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya, tentu makin tak tersalurkan aspirasi (keinginan) masyarakat akan sosok pemimpin yang diinginkannya.

Ada juga yang beralasan calon pemimpin yang ditawarkan tidak sesuai dengan keinginan mereka dan mereka beralasan, berdasarkan pengalaman selama ini, memilih atau tidak sama saja, tidak akan membawa perubahan yang berarti.

Mengenai calon pemimpim, tentu saja tidak bisa sesuai dengan keinginan masing-masing individu, karena ada proses dan mekanisme yang harus dilalui. Namun memang perlu juga diingatkan dan masyarakat juga perlu mengawal sehingga calon pemimpin yang diapungkan namanya memang calon yang berkualitas dan aspiratif.

Memilih pemimpin memang tidak mudah, menjadi pemimpin jauh lebih sulit lagi. Sorang pemimpin haruslah amanah dan akan diminta pertangung jawabannya dunia dan akhirat. Karena itu di zaman Nabi Muhammad SAW, seorang pemimpin dicalonkan oleh masyarakat. Masyarakatlah yang menilai, berdasarkan sikap, karakter dan prilakunya sehari-hari apakah ia sudah layak jadi pemimpin. Bukan dia sendiri yang menganggap dirinya mampu, punya uang banyak untuk kampanye, lalu maju mencalonkan diri. Lebih buruk lagi dia mencalonkan diri karena ambisi pribadi.

Karena itu partai-partai harus jeli mendengar aspirasi masyarakat untuk menentukan sosok tokoh mana yang diinginkan masyarakat untuk dijadikan calon pemimpim. Sebaliknya masyarakat juga harus menahan diri dan bersikap tegas. Memilih seorang calon pemimpin bukan karena besar atau kecilnya oleh-oleh yang mereka bawa (berupa baju kaos, sumbangan dalam bentuk materi atau uang). Hal ini sering menjadi dilema, calon yang berkualitas tersisihkan karena mereka tak punya uang untuk memberi “oleh-oleh”. Jadi pilihlah mereka karena kualitas dan kapasitasnya.

Pemilu legislatif sudah dekat, tak sampai sebulan lagi. Mari ikut peduli dan berpartisipasi. Teliti dan pelajari kualitas dan dedikasi masing-masing calon dan pilihlah mereka karena alasan kualitas dan integritasnya, bukan karena besar atau kecilnya “oleh-oleh” yang diberikan.

Ikut memilih secara benar berarti kita ikut menentukan masa depan kita secara benar pula untuk masa datang. Tidak ikut memilih, berarti kita membiarkan siapa saja yang akan memipimpin, malah akan membuka peluang lebih besar tokoh-tokoh yang tidak kita inginkan terpilih sebagai pemimpin. Selamat melaksanakan pemilu, selamat berdemokrasi. ***

IrwanPrayitno
Gubernur Sumbar

Padang Ekspres 12 Maret 2014

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>