«

»

Lagi, Indeks Kebahagiaan

17 Mai 2016

Ternyata indeks kebahagiaan kembali menjadi perbincangan hangat, setidaknya di kalangan ‘orang ekonomi’, melalui grup Whats App dan media sosial. Indeks kebahagiaan warga Sumbar Tahun 2014 yang disebut-sebut berada di urutan ketiga terbawah se Indonesia menjadi latar belakang munculnya kembali perbincangan tentang indeks kebahagiaan.

Masih teringat pula, tahun lalu Prof. Ahmad Syafii Maarif menulis di Kolom Resonansi Republika edisi 18 Agustus 2015, “dari sisi tingkat kesejahteraan masyarakat, Sumbar terjun bebas pada angka tiga dari bawah setelah Papua dan NTB.” Mungkin yang dimaksud Prof. Syafii dalam tulisan itu adalah indeks kebahagiaan yang bersifat subyektif (standar yang tidak sama) dan kualitatif. Karena jika melihat data kuantitatif, kondisi Sumbar jauh berbeda.

Misalnya angka kemiskinan, per September 2015 persentase jumlah penduduk miskin Sumbar 6,71%. Ada di urutan ke-11 terbaik/terendah dari 34 provinsi. Sedangkan Gini Ratio (tingkat ketimpangan pendapatan) Sumbar Tahun 2015 sebesar 0,39, ada di urutan ke-9 terbaik/terendah dari 34 provinsi. Demikian juga dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumbar atas dasar harga berlaku yang menerangkan besarnya kue ekonomi/kekayaan dari seluruh komponen di Sumbar, menunjukkan kenaikan dalam tiga tahun terakhir 2013-2015 (Rp146,90 triliun, Rp164,90 triliun, Rp178,81 triliun). PDRB Sumbar berada di urutan ke-13 terbaik dari 33 provinsi. Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi Sumbar, tiga tahun terakhir berada di atas angka nasional. Sedangkan jumlah penyandang buta aksara di tahun 2014 di urutan 8 terkecil nasional. Adapun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sumbar berada di peringkat 9 nasional (2012-2014) dan angkanya terus meningkat. IPM dibentuk oleh tiga komponen yaitu indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks pengeluaran riil perkapita.

Namun demikian, adanya data kuantitatif dengan indikator obyektif seperti yang disampaikan di atas tidak menyurutkan pihak-pihak tertentu di grup diskusi WA tadi menyebutkan bahwa kesejahteraan, pendapatan, kemiskinan, pendidikan dan lainnya di Sumbar berada di urutan tiga terbawah. Bahkan menyebut sumbernya berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Jika membaca lagi Indeks Kebahagiaan Sumbar tahun 2014 yang dirilis oleh BPS pada tahun 2015, yang dilakukan BPS sudah benar. Termasuk penjelasan yang mengawali rilis BPS, bahwa survei indeks kebahagiaan menggunakan indikator subyektif (standar yang tidak sama) dan data kualitatif yang dihasilkan berdasarkan persepsi masyarakat untuk melengkapi indikator obyektif (standar yang sama) yang menghasilkan data kuantitatif. Hanya saja memahaminya tentu perlu membaca dengan tenang sehingga mengerti apa yang dimaksud.

Hal penting yang saya terima langsung informasinya dari Kepala BPS Sumbar Bapak Dodi Herlando beserta tim lengkap yang bertemu di Gubernuran pada 9 Mei 2016 lalu, indeks kebahagiaan ini tidak pernah dan tidak bisa diranking antar provinsi se Indonesia karena mengukur kepuasan dari masing-masing orang di tiap provinsi di mana standarnya tidak sama (subyektif) di setiap provinsi dan menghasilkan persepsi kepuasan terhadap topik yang ditanyakan. Pihak BPS pun tidak melakukan perankingan terhadap indeks kebahagiaan ini. Dan komponen indeks kebahagiaan yang digunakan adalah kepuasan hidup dan emosi positif.

Jadi, kalau mau ditegaskan, sebenarnya lebih tepat disebut indeks kepuasan dibanding indeks kebahagiaan. Kepala BPS Sumbar menyebutkan bahwa BPS mengadopsi pengukuran indeks kebahagiaan yang dilakukan di dunia internasional di mana kepuasan sebagai proksi dari kebahagiaan. Maka di Indonesia pun disebut sebagai indeks kebahagiaan. Dan indeks kebahagiaan tahun 2014 adalah yang pertama kali untuk level provinsi dan berfungsi sebagai pelengkap data kuantitatif yang sudah ada. Dan survei indeks kebahagiaan ini pun baru sekali dilaksanakan karena sifatnya sebagai pelengkap dan bukan data utama.

Menurut Kepala Bidang Sosial BPS Sumbar, Bapak Satriono, survei indeks kebahagiaan yang menggambarkan kepuasan dilakukan dengan mengisi Skala Likert. Skala Likert ini sudah lazim digunakan untuk mengukur pendapat, sikap atau kepuasan terhadap hal yang ditanyakan. Untuk survei indeks kebahagiaan ini skala yang digunakan dimulai dari angka 1 hingga 10. Di mana angka 1 mencerminkan ‘sangat tidak puas’, dan angka 10 mencerminkan ‘sangat puas’.

Di daftar pertanyaan survei pengukuran tingkat kebahagiaan, setiap aspek ada beberapa pertanyaan terkait tentang aspek yang dimaksud, dan pertanyaan dari masing-masing aspek diakhiri dengan pertanyaan sebagai berikut: 1. seberapa puas dengan kesehatan? 2. seberapa puas dengan pendidikan? 3. seberapa puas dengan pekerjaan? 4. seberapa puas dengan pendapatan rumah tangga? 5. seberapa puas dengan keadaan lingkungan? 6. seberapa puas dengan keamanan? 7. seberapa puas dengan keharmonisan keluarga? 8. seberapa puas dengan hubungan sosial di lingkungan sekitar tempat tinggal? 9. seberapa puas dengan ketersediaan waktu luang? 10. seberapa puas dengan rumah dan fasilitas rumah?

Jika bicara kepuasan, standar kepuasan orang Minang memang tinggi. Hal ini telah dibuktikan di dua pilkada serentak tahun 2010 dan 2015. Banyak calon kepala daerah petahana bertumbangan. Padahal yang saya tahu, mereka telah banyak menorehkan prestasi ketika menjabat sebagai kepala daerah. Namun, karena masyarakat merasa kurang puas, maka mereka mencari pemimpin baru yang diharapkan bisa memuaskan pemilih. Selain itu, orang Minang dalam mengkritik pun sangat keras, kadang jatuh kepada cemooh (cime’eh), dengan tujuan mendapatkan hasil yang sangat memuaskan. Orang berprestasi pun jarang diapresiasi karena dianggap masih ada yang kurang memuaskan. Pemimpin pun hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Oleh karena dalam menilai orang lain pun dengan standar tinggi, maka dalam menilai dirinya sendiri pun orang Minang merasa belum puas dengan apa yang sudah ia capai. Maka muncullah budaya merantau sebagai upaya untuk mendapatkan hasil atau kepuasan yang lebih baik lagi. Banyak orang Minang yang merantau kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh nasional. Karakter orang Minang yang ingin selalu lebih maju, selalu menang dan tak ingin kalah serta tak cepat puas diperlihatkan dengan ungkapan, “taimpik ingin di ateh, takuruang ingin di lua.”

Demikian pula dengan kepuasan dalam pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan aspek lain yang disurvei dalam indeks kebahagiaan. Misalnya aspek pendidikan, orang yang sudah tamat S2 dan S3 kepuasannya cukup tinggi. Sedangkan orang yang tidak/belum pernah sekolah kepuasannya rendah. Dalam aspek pendapatan, orang yang pendapatan perbulannya Rp7,2 juta ke atas kepuasannya cukup tinggi. Dan orang yang pendapatan perbulannya Rp1,8 juta ke bawah kepuasannya rendah.

Orang Minang memang antusias terhadap pendidikan dan tidak cepat puas. Banyak orangtua yang ingin anaknya menamatkan pendidikan sarjana (S1). Namun jika sudah S1, si anak ternyata masih belum puas dan ingin melanjutkan ke jenjang S2. Ini bisa dilihat dari jumlah perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang ada di Kopertis X (Sumbar, Riau, Jambi, Kepulauan Riau), ternyata jumlah terbanyak ada di Sumbar. Dan dibuktikan pula dengan angka partisipasi kasar untuk usia 19-24 tahun pada 2013 di Sumbar sebesar 33,82. Lebih tinggi dari angka nasional sebesar 23,06. Selain itu, keinginan untuk mendapatkan kehidupan/pendapatan lebih baik ditunjukkan dengan berwirausaha maupun merantau.

Aspek pendidikan dalam indeks kebahagiaan hanya menerangkan kepuasan orang atas pendidikan yang ia dapat (subyektif dan kualitatif), bukan rata-rata lama sekolah penduduk yang menggambarkan kesejahteraan masyarakat (obyektif, kuantitatif). Sementara aspek pendapatan dalam indeks kebahagiaan hanya menerangkan kepuasan seseorang terhadap pendapatan yang ia peroleh (subyektif, kualitatif), bukan PDRB Sumbar maupun PDRB Perkapita Sumbar yang menggambarkan kesejahteraan masyarakat. Padahal PDRB perkapita Sumbar tiga tahun terakhir 2013-2015 meningkat (Rp28,99 juta, Rp32,13 juta, Rp34,41 juta). Di sini bisa dilihat bahwa indeks kebahagiaan yang subyektif  dan kualitatif menerangkan kepuasan terhadap pendapatan yang diperoleh individu, sedangkan data obyektif dan kuantitatif tentang PDRB perkapita menerangkan meningkatnya kesejahteraan penduduk Sumbar.

Kepala Bidang Sosial BPS Sumbar menyebutkan kepada saya bahwa masyarakat Sumbar seharusnya bersyukur dan bangga karena memiliki standar kepuasan yang tinggi sehingga terpacu untuk mendapatkan hal yang lebih baik/tinggi lagi di masa depan.

Dengan melihat indeks kebahagiaan dan data kuantitatif tentang kemiskinan, pendidikan, pendapatan dan kesejahteraan lainnya serta karakter masyarakat, selaku Gubernur saya mengajak para Bupati dan Wali Kota di Sumbar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara bersama-sama, memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, serta mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Dan juga melakukan pemberdayaan masyarakat di mana mayoritas bekerja sebagai petani. Di samping   itu potensi wisata yang ada di tiap-tiap daerah bisa ditingkatkan lagi  pengelolaannya sehingga pada akhirnya ini semua bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumbar. ***

Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar

Singgalang, 17 Mei 2016