“Lah masuak MURI pantun tu. Tu baa rakyat Sumbar dek e?”
Ini adalah sebuah status yang dibuat seseorang di media sosial. Status sejenis, kini sedang viral. Status tersebut menyinggung buku pantun yang ditulis Gubernur Sumbar Irwan Prayitno. Puluhan ribu pantun ditulis sang gubernur, sehingga ia mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia. Gubernur senang, tapi ada segelintir orang yang justru kambuh penyakit asam uratnya. Entah mengapa. Soal gubernur berpantun kemudian dihubung-hubungkan dengan data pengaduan masyarakat kepada Ombusman, pantun dihubung-hubungkan dengan masalah politik, birokrasi, hingga kecemburuan sosial. Kalau status semacam itu dibuat oleh orang awam, saya bisa maklum. Tapi, status itu dibuat oleh mereka yang mengaku budayawan, sastrawan, mengaku penulis. Kalau yang satu ini, akal sehat saya menjadi meriang.
Di media sosial orang bebas berkomentar apa saja. Antara waras dan tidak waras, hampir tak bisa membedakannya. Tinggal pembaca media sosial yang pandai-pandai mengunyah-gunyah apa yang ada di dunia maya itu. Tapi, media sosial kerap melahirkan sebuah perbincangan wacana yang menarik. Perbincangan tentang pantun yang marak akhir-akhir ini salah satunya.
Memperbincangkan pantun adalah sesuatu yang tak ada istimewanya. Sebagai bentuk karya sastra, pantun adalah genre sastra lama. Pantun pernah hidup dalam karakter masyarakat. Berpantun menjadi tradisi masyarakat Melayu, termasuk masyarakat Minangkabau. Tak hanya Melayu, tradisi berpantun juga menjadi hidup dalam masyarakat nusantara lainnya. Bisa dikatakan, pantun sudah menjadi budaya nasional. Sejalan dengan perubahan zaman, munculnya puisi-puisi modern, tradisi berpantun kemudian hilang. Masyarakat Minang bingung, pantun sangat penting dalam berbagai kegiatan ritual budaya. Untuk membuat hitungan, orang berpantun, untuk memulai mufakat, orang Minang berpantun. Celakanya, sekarang tak banyak lagi orang Minang yang pandai berpantun. Berpantun itu menjadi tak gaul, tak keren, ketinggalan zaman. Ketika pantun kini kembali diperbincangkan, ini menjadi sesuatu yang luar biasa.
Gubernur Irwan Prayitno bukan yang pertama atau satu-satunya pejabat yang berpantun. Ketika menjadi Mentri Kominfo, Tifatul Sembiring juga sering berpantun. Ketika, putra Bukittinggi itu sekarang menjadi anggota DPR-RI, ia tak berhenti berpantun. Kalau Tifatul hanya membacakan pantunnya di berbagai kesempatan, Irwan Prayitno lebih maju selangkah. Ia menuliskannya. IP melakukan dua hal sekaligus, menghidupkan sastra lama dan menghidupkan tradisi menulis sebagai ciri sastra modern. Berpantun sudah menjadi ciri orang Minang. Hebatnya lagi, orang Minang pula yang kembali menghidupkan tradisi tersebut.
Apa salahnya gubernur berpantun? Kalau ada yang bertanya seperti ini, sama artinya mempertanyakan kenapa Taufik Ismail membuat puisi. Taufik Ismail itu kan dokter hewan, untuk apa pula dokter hewan menulis puisi? Sama juga dengan mempertanyakan kenapa Fadlizon membuat buku tentang orkes Gumarang. Fadlizon kan Wakil Ketua DPR-RI, untuk apa pula ia menulis buku budaya?
Kalau ada yang membuat status yang menghubung-hubungkan menulis pantun dengan masalah politik, birokrasi, atau bahkan dengan masalah tak makan, itu sebuah logika yang jungkir balik. Pantun tentu saja tak bisa membuat kenyang, pantun tak bisa menyelesaikan urusan rakyat. Tapi, kalau ada yang bertanya apakah pantun bisa menyelesaikan masalah lapar, itu pertanyaan yang bodoh. Sama saja bertanya tentang bagaimana membuat pesawat terbang kepada dokter kandungan. Sebuah rumah itu ada bilik-biliknya. Sastra pun demikian, sudah ada ranahnya.
Pantun tentu saja boleh diperbincangkan, boleh dikritik. Ranahnya adalah kritik sastra. Pantun Irwan Prayitno bisa dikritik secara intrinsik atau ekstrinsik. Secara intrinsik bisa menggunakan pisau kebahasaan dengan pendekatan struktural, atau kajian gaya dan makna. Secara ekstrinsik, pantun IP bisa dikaji dari sisi konteks sosial, politik, hukum, atau budaya. Tapi, kajian ekstrinsik tetap mengacu pada pantun itu sendiri sebagai karya. Menghitung-hitung pantun IP dengan ketidakcakapannya sebagai gubernur, itu bukan wilayah kritik sastra.
Sekarang aur dan tepian itu bercampuraduk saja. Tapi, kalau sesuatu itu tak ditempatkan pada ranahnya, bisa-bisa sesat pikiran jadinya. Pantun sebagai karya dihakimi dengan kritik sastra. Tapi, seorang penulis tak bisa dihakimi karena karyanya. Sebab, ketika sebuah karya lahir, maka ketika itu penulisnya mati. Begitulah seharusnya membaca pantun Irwan Prayitno. Hakimi pantunnya itu dengan kritik sastra. Tapi, jangan hakimi Irwan Prayitno sebagai gubernur karena pantun yang ditulisnya.
Penghakiman terhadap penulis karena karya-karyanya adalah sebuah perlakuan buruk dalam proses kreatif. Penulis itu seharusnya diapresiasi karena karya-karyanya. Dengan begitu, tradisi menulis, tradisi berkarya semakin hidup. Kita mesti mendorong semakin banyak orang menulis. Menulis pantun, menulis puisi, esai, novel, atau apalah. Tak hanya kreativitas menulis, kreativitas di bidang lain mesti ditumbuhkan pula. Orang-orang yang kreatif, orang-orang yang berkarya akan membuat sebuah negeri itu berkembang dan maju.
Silahkan hakimi pantun-pantun Irwan Prayitno dengan kritik sastra. Kalau ingin menghakimi Irwan Prayitno sebagai gubernur, itu tak masalah pula. Kritiklah dengan segala macam cara mengkirik, terserahlah caranya. Tapi, jangan kritik gubernur itu dengan mempermasalahkan pantun yang ditulisnya. Terakhir, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah pantun:
Ke Kuranji di hari selasa
Jangan lupa membawa sukun
Mengkritik bolehlah saja
Mari mengkritik sambil kita berpantun
A.R. Rizal_ (Wartawan Singgalang)