UU No. 10 Tahun 2016 mengatur pemilihan gubernur, bupati, wali kota. Dalam UU tersebut diatur tentang sengketa pilkada terkait perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan. Lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
Peraturan MK No. 6 Tahun 2020 tentang Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, di dalamnya berisi beberapa kategori untuk selisih suara yang bisa digugat ke MK dengan melihat jumlah penduduk provinsi, kabupaten, dan kota. Untuk pilkada tingkat provinsi dengan jumlah penduduk 2-6 juta jiwa bisa diajukan ke MK bila selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5% dari total suara sah. Ini merupakan kriteria untuk Sumbar dengan jumlah penduduk kategori 2-6 juta jiwa.
Jika melihat selisih suara hasil penghitungan KPU, selisih suara terkecil pihak yang kalah dengan pemenang di pilkada gubernur adalah sekitar 2,13%. Jika melihat aturan syarat selisih suara, seharusnya tidak bisa disengketakan. Jikapun disengketakan, maka pihak yang mengajukan gugatan harus berupaya untuk membuktikan suara mereka dicurangi dan bisa membuktikan bahwa suara yang didapat jauh lebih banyak. Sehingga bisa mengalahkan suara yang menang. Sementara PSU (pemungutan suara ulang) yang sudah dilakukan di masa pilkada ternyata suara terbanyak tetap berada di pihak yang dinyatakan KPU sebagai pemenang pilkada.
Namun MK secara arif mengeluarkan kebijakan menerima aduan di luar selisih suara yang dianggap berpengaruh mempengaruhi selisih suara atau terhadap perolehan suara. MK sudah menerima permohonan pihak-pihak yang mengajukan gugatan tersebut untuk diperkarakan di MK. Untuk hal ini, kita serahkan urusan terkait sengketa selisih suara pada MK. Adapun gugatan yang berasal dari Sumbar ke MK terdiri dari pilkada gubernur dan juga pilkada bupati.
MK akan mengumumkan hasil putusan insya Allah pada 19-24 Maret 2021. Maka saat ini kita tinggal menunggu jalannya persidangan di MK hingga nanti keluar putusan. Pelantikan kepala daerah akan dilakukan setelah putusan di MK keluar. Kemungkinan insya Allah awal April 2021 dilakukan pelantikan.
Dengan sudah berjalannya proses di MK, maka kita tinggal mengikuti saja jalannya persidangan. Hingga nanti keluar putusan final. Tidak hanya untuk sengketa pilkada yang ada di Sumbar, tetapi juga pilkada se Indonesia.
Menunggu keluarnya putusan MK kurang lebih dua bulan. Waktu yang tidak sebentar, sehingga bisa menimbulkan ketidaksabaran serta bisa dimanfaatkan untuk memunculkan manuver-manuver tertentu seperti opini publik yang belum tentu benar sesuai kenyataan. Dan ini muncul menjadi berita media. Seharusnya ketika menunggu putusan MK tidak muncul opini-opini demikian. Karena semuanya sudah berada di MK.
Sebetulnya sudah tidak ada lagi keperluan untuk tampil di publik setelah pengajuan sengketa pilkada masuk ke MK. Karena putusan bukan ada di publik, tapi di hakim MK. Dan hakim MK yang menangani sengketa pilkada bukan berasal dari daerah di mana ada sengketa pilkada. Sehingga kecil kemungkinan hakim MK mengikuti pemberitaan atau perkembangan opini yang ada di daerah sengketa pilkada. Adapun Hakim MK yang berasal dari Sumbar tidak akan menangani sengketa pilkada yang ada di Sumbar.
Kemunculan opini publik yang terkesan untuk melanjutkan kompetisi pilkada seharusnya sudah tidak ada lagi. Karena ajang kompetisi sudah selesai, penghitungan suara selesai, tinggal menunggu hasil sidang di MK. Jika tetap muncul opini, berarti ada sesuatu atau kepentingan yang harus terpenuhi atau ketidakpuasan guna memenangkan kompetisi yang sudah selesai masanya.
Ironisnya, opini yang muncul ternyata belum tentu atau tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bahkan mungkin saja terjadi pemutarbalikan fakta hingga memanfaatkan pihak lain untuk menyerang peserta pilkada. Persidangan di MK masih berjalan, hakim MK masih mendengar penjelasan dari pihak yang menggugat dan tergugat. Tapi opini berkembang sedemikian rupa, seperti “MK mengabulkan permohonan penggugatâ€. Masyarakat yang tidak mengikuti perkembangan jalannya sidang MK akhirnya bisa termakan opini yang belum tentu benar.
Masyarakat yang tadinya sudah tenang, kembali menyatu, dipaksa untuk menjadi terbelah kembali dengan munculnya opini baru. Upaya melakukan playing as victim dilakukan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Tidak hanya itu, ada juga kemungkinan membawa lembaga lain sebagai ‘penjahat’ dalam pembentukan opini. Padahal belum tentu itu faktanya. Bahkan sebuah proses atau peristiwa dalam pilkada yang bisa dibilang tidak ada komplain sebelumnya, tiba-tiba dimunculkan opini yang mengada-ada.
Berperkara di MK, sudah ada pengacara yang mendampingi. Sehingga jika ingin berbicara secara resmi, maka MK adalah tempatnya. Berdemokrasi juga harus mengikuti alur yang ada. Ketika pilkada berlangsung, maka sudah disediakan alur untuk berkompetisi. Namun setelah pilkada usai dan ada yang menang serta yang kalah, harus siap menerima kemenangan dan kekalahan. Jika tidak puas, maka untuk sengketa pilkada, alurnya ada di MK, bukan di luar MK. Ini harus dihormati oleh seluruh pihak. Sehingga tercipta demokrasi yang sehat dan mampu mendidik masyarakat. ***
Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar
Harian Padang Ekspres 2 Februari 2021