Dalam beberapa bulan ini, ucapan duka dan berita kematian begitu sering kita dengar dan baca melalui media sosial. Mereka yang wafat itu ternyata orang-orang yang kita kenal dekat, seperti teman sekolah, rekan kerja, teman kantor, teman di organisasi, kerabat atau tokoh masyarakat. Dari usia muda hingga yang lebih tua. Kita tidak menyangka sekali bahwa mereka akan pergi secepat itu. Tetapi itulah takdir Allah Swt.
Dialah yang menakdirkan manusia kapan dan di mana wafat dan juga sebab-sebab kematiannya. Saat ini mereka yang wafat banyak disebabkan terkena Covid-19. Maka jika kita tahu mereka yang wafat karena terkena Covid-19 seharusnya kita berusaha jangan sampai terkena Covid-19, dengan memakai masker, menjauhi kerumunan, mencuci tangan, menjaga jarak serta mematuhi protokol kesehatan lainnya. Jangan sampai kita menyombongkan diri tidak akan terkena Covid-19. Sehingga kita melupakan adanya Allah Swt.
Selain itu, di tengah pandemi Covid-19 di media sosial yang kita ikuti beredar berbagai berita atau informasi hoax. Baik terkait masalah Covid-19 atau kondisi terkini. Selain hoax, ikut juga berbagai fitnah dan ghibah, sehingga sudah campur aduk. Hoax Covid-19 pun juga bercampur aduk sehingga urusan agama pun terbawa-bawa, apalagi pemerintah yang sedang berjibaku menangani pandemi Covid-19. Akibat berita hoax, ajaran agama dibenturkan dengan penanganan Covid-19, upaya pemerintah menangani Covid-19 dibenturkan dengan kondisi masyarakat.
Bisa dibayangkan jika kita oleh suatu sebab ikut menyebarkan hoax tentang Covid-19 terkait pengabaian protokol kesehatan dikaitkan urusan agama, kemudian dipercaya oleh yang menerima pesan itu. Dan akibat dari itu menyebabkan musibah kematian. Demikian pula jika kita menyebarkan hoax tentang kebijakan pemerintah menangani Covid-19, kemudian dipercaya oleh yang menerima pesan. Padahal info hoax tersebut tidak pernah dilakukan pemerintah, tetapi yang menerima pesan menjadi semakin benci kepada pemerintah. Dan akhirnya apa yang dilakukan pemerintah dalam menangani Covid-19 adalah salah semua. Padahal apa yang disebut pemerintah itu di dalamnya juga ada tenaga kesehatan, ilmuwan, orang-orang terdidik, yang sudah bekerja keras mencurahkan tenaga dan pikiran mereka.
Allah Swt berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.†(QS Al-Hujurat:49)
Jangan sekali-kali menganggap kita akan aman jika menyebarkan berita hoax. Karena Allah swt pasti akan membalas keburukan yang kita kerjakan. Bisa jadi suatu saat akibat berita hoax tersebut akan terkena kepada kita sendiri, anak dan istri kita, atau orang tua kita.
Beriringan dengan penyebaran hoax melalui media sosial, ghibah dan fitnah juga ikut di dalamnya. Sehingga akhirnya hoax, ghibah dan fitnah menjadi bahan bakar yang menghidupkan media sosial sebagian orang. Dan ironisnya, mereka yang seharusnya bisa menjaga diri dari dosa besar atau mereka yang bisa menjaga amalan salatnya, puasanya juga terbawa-bawa menyebarkan hoax, sekaligus melakukan ghibah dan juga fitnah.
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?†Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah saw bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?‘ Rasulullah saw bersabda: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan (memfitnah) terhadapnya.†(HR Muslim)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) salat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam nerakaâ€. (HR. Muslim).
Saat ini, fitnah kepada para tenaga kesehatan, pejabat publik, tokoh-tokoh, politisi begitu gencar. Kadang awalnya dimulai dengan berita hoax, lalu disambut membabi buta tanpa memeriksa kebenarannya. Mereka yang difitnah seolah-olah buruk dan jahat semua, tidak ada tersisa kebaikan pada diri mereka. Padahal sebenarnya tidak seperti itu. Tindakan yang kadang mengatasnamakan kritik atau hak warga negara dengan memfitnah semena-mena bukanlah hal yang baik, dan tidak sesuai ajaran agama. Apalagi ketika para pemfitnah tersebut terlihat seolah-olah tidak punya kekurangan.
Demikian pula sebaliknya, pejabat publik, tokoh-tokoh, politisi, tenaga kesehatan, juga penceramah dan akademisi jangan sampai melakukan fitnah kepada pihak lain. Karena hal demikian juga merupakan perilaku buruk, dan pengaruhnya bisa meluas dan viral. Apalagi jika para pendukungnya siap membela mati-matian tanpa berpikir rasional.
Menyebarkan berita hoax, diikuti ghibah dan fitnah di media sosial menjadikan kita lupa bahwa Allah Swt itu ada. Dia mencatat segala keburukan hambaNya dan akan memberikan balasan atas segala keburukan yang dilakukan.
Kemajuan teknologi kadang membuat kita lupa bahwa ada Allah Swt yang selalu mencatat apa yang kita kerjakan. Sehingga jari jemari kita sangat lincah untuk menuliskan berbagai fitnah, ghibah serta menyebarkan hoax yang menyuburkan kebencian melalui ponsel kita. Terasa sulit untuk menghentikannya.
Kita kadang lupa bahwa sesungguhnya kita adalah milik Allah Swt dan kepadaNya kita kembali. Jika hati dan pikiran kita tertutup oleh hoax, ghibah dan fitnah maka kita akan kembali kepada Allah dengan hoax, ghibah dan fitnah tersebut. Dan tempat kembali yang akan kita tempati adalah seburuk-buruk tempat yang tidak kita inginkan.
Semoga kita bisa kembali berpikir rasional dan bersikap objektif terhadap berbagai hal, serta berperilaku positif dalam kehidupan. Sehingga kita tidak lupa bahwa Allah Swt itu ada. ***
Irwan Prayitno
Harian Padang Ekspres 8 September 2021