Zulfan Tadjoeddin pada 7 Oktober 2021 menulis di langgam.id dengan judul “Kemiskinan di Ranah Bundo”. Zulfan menulis bahwa Sumbar bukan daerah kaya, pengangguran juara dua di Sumatra, sedikit persentase pekerja formal (menang dari Bengkulu dan Lampung).
Zulfan juga menulis bahwa kemiskinan di ranah bundo rendah, hanya 6,1% setelah dihantam Covid-19 (angkanya jauh lebih rendah dari rata-rata nasional 10,2% berdasarkan Susenas Maret 2021). Ia menyebut bahwa Sumbar hanya kalah dari Kepulauan Riau (Kepri) dan Bangka Belitung (Babel). Jika Kepri dan Babel tidak dimasukkan, maka tingkat kemiskinan Sumbar terendah di Sumatra menurutnya.
Zulfan membandingkan Sumbar dengan Riau. Ia menyebut Riau kaya, tingkat kemiskinan di atas Sumbar. Ia menyebut pendapatan perkapita Sumbar bisa saja rendah, tetapi kemiskinan juga rendah. Untuk menjelaskan hal tersebut Zulfan menyebut dua hal, yaitu: Pertama, Pemda hebat (provinsi, kabupaten, kota), mampu menjalankan program-program anti kemiskinan. Kedua, ranah bundo terbantu oleh kiriman perantau.
Pada kesempatan ini saya menambahkan komentar Zulfan dalam tulisannya terkait pengangguran dan kemiskinan di Sumbar. Yaitu melalui pendekatan budaya yang ada di masyarakat.
Pekerja Formal Sedikit di Sumbar
Pekerja formal menurut BPS adalah penduduk bekerja dengan status berusaha dengan dibantu buruh tetap dan berstatus buruh/karyawan/pegawai. Sedangkan pekerja informal menurut BPS adalah penduduk bekerja dengan status berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di non pertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Persentase pekerja formal di Sumbar berdasarkan data BPS per Februari 2021 adalah 36,41% (940.950). Sedangkan persentase pekerja informal adalah 63,59% (1.643.170). Terlihat bahwa persentase pekerja informal hampir dua kali lipat pekerja formal. Pekerja formal berisi orang yang: berusaha dibantu buruh tetap (3,83%) dan buruh/karyawan/pegawai (32,58%). Sedangkan pekerja informal berisi orang yang: berusaha sendiri (20,74%), berusaha dibantu buruh tidak tetap (17,63%), pekerja bebas di pertanian (5,71%), pekerja bebas di non pertanian (3,95%), pekerja keluarga/tak dibayar (15,56%).
Dari data di atas yang memperlihatkan sedikitnya pekerja formal di Sumbar bisa diketahui bahwa banyak orang Minang yang kurang menyukai bekerja sebagai pekerja formal yaitu buruh yang digaji dengan standar UMR (Upah Minimum Regional) dengan jam kerja yang sudah ditentukan/terikat (pagi – sore). Kebanyakan mereka memilih menjadi pekerja informal yang ingin punya jam kerja bebas, tidak mau terikat waktunya. Sudah ada contohnya di Sumbar, perusahaan atau pabrik yang kemudian tutup karena produktivitas buruh yang rendah, tidak bersedia kerja penuh waktu.
Orang Minang lebih memilih waktu kerja bebas meskipun penghasilan tidak besar untuk satu kegiatan. Karena waktu mereka lebih berharga dan masih bisa dimanfaatkan dengan kegiatan lain yang juga bisa menghasilkan pendapatan atau jika diakumulasikan bisa meningkatkan penghasilan. Orang Minang banyak yang lebih suka berusaha sendiri dibanding bekerja sebagai buruh. Mereka tidak ingin dikekang atau diatur, lebih suka mandiri atau independen. Kebanyakan mereka bergerak di usaha mikro dan kecil (UMK). Jumlah yang terdata sedikitnya ada 580.344 usaha mikro kecil di Sumbar dan menyerap tenaga kerja sejumlah 1.297.672 atau 98,88% usaha nonpertanian.
Sebetulnya pekerjaan di Sumbar cukup banyak tersedia, seperti di bidang konstruksi/bangunan. Setiap tahun bila digabungkan anggaran pembangunan dari pusat dan daerah, jumlahnya bisa puluhan triliun rupiah. Ini bisa menampung puluhan ribu tenaga kerja. Tapi fakta di lapangan, hampir tidak ada orang Minang bekerja di sektor ini. Kalaupun ada, sangat sedikit orang Minang yang bekerja sebagai buruh proyek pembangunan. Di sektor konstruksi/bangunan, orang Minang banyak memilih sebagai tukang, bukan buruh proyek pembangunan yang waktu kerjanya sudah ditentukan.
Pengangguran di Sumbar
Sementara itu, pengertian penganggur menurut BPS adalah penduduk yang tidak bekerja tetapi berharap mendapat pekerjaan, dan kegiatannya terdiri dari: mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena alasan merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (putus asa), tidak mencari pekerjaan karena sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Dari pengertian penganggur menurut BPS, orang Minang yang kelihatannya menganggur atau termasuk dalam pengertian penganggur versi BPS justru sudah punya pekerjaan atau penghasilan. Tetapi sering ditutupi atau merendah jika ditanya oleh orang lain.
Seseorang terlihat menganggur, tetapi ia bekerja di rumah orang satu-dua jam untuk mencuci. Setelah itu pulang. Di waktu lain ia masih bisa berjualan atau usaha/pekerjaan lain. Ada juga seseorang yang bekerja di rumah orang untuk setrika pakaian selama satu jam sehari. Setelah itu ia pulang. Lalu di waktu lain pada hari yang sama ia membantu usaha pembuatan kue. Ini adalah contoh bahwa orang yang terlihat menganggur, sebenarnya memiliki pekerjaan. Masih banyak orang yang terlihat menganggur, tetapi memiliki keahlian sederhana sehingga bisa mendapatkan penghasilan seperti mencuci pakaian, menyetrika, menyopir, menyapu, mencabut rumput, merapikan tanaman, mengecat, tukang, dan lainnya. Mereka mungkin bekerja hanya satu dua jam, atau beberapa jam saja dalam sehari. Sehingga terlihat seperti menganggur.
Artinya, secara formal orang Minang menganggur tetapi realitanya mereka tetap berpenghasilan dari pekerjaan yang bukan formal. Sehingga terlihat di data statistik, orang Minang banyak menganggur tetapi tidak miskin.
Selain itu, jika mengacu kepada indeks kebahagiaan yang pernah dirilis BPS, orang Minang memiliki tingkat kepuasan tinggi. Ia ingin penghasilannya tinggi. Maka jika ditanya orang, ia akan merendah karena kepuasannya belum tercapai (penghasilannya belum setinggi keinginannya). Ia terlihat menganggur, padahal memiliki penghasilan.
Anomali Kemiskinan
Tak heran jika pengangguran di Sumbar termasuk tinggi tetapi angka kemiskinan rendah. Karena meskipun menganggur tetap berpenghasilan. Sehingga angka kemiskinan pun rendah.
Budaya orang Minang yang ingin hidup mandiri dengan mengelola usaha sendiri dan tak ingin terkekang merupakan sebuah hal positif. Sebagai contoh adalah budaya merantau. Orang Minang di rantau lebih 90% berprofesi sebagai pedagang, bukan pegawai. Kenapa merantau? Karena ingin mendapat penghidupan lebih baik dan mencari kepuasan yang lebih tinggi. Dari budaya merantau ini, bisa terlihat bahwa orang Minang memilih mandiri dan ingin bekerja yang tidak terikat. Pekerjaan yang tersedia banyak dan terbuka ada di sektor konstruksi, tetapi tidak dipilihnya karena tidak cocok dengan keinginannya/budayanya.
Demikian pula budaya untuk memiliki penghasilan walaupun sedikit, merupakan sebuah hal positif. Budaya demikian merupakan kearifan lokal yang turut menopang ekonomi Sumbar.
Inilah potret anomali kemiskinan di Sumbar. Tingkat pengangguran tinggi, tetapi tingkat kemiskinan rendah. Salah satu cara menjelaskan anomali ini adalah dengan melihat budaya yang ada di masyarakat Minang.
Oleh karenanya dengan melihat fenomena ini, program pemerintah untuk Sumbar sebaiknya memfasilitasi dan mendukung masyarakat yang memilih untuk berwirausaha sebagai pekerjaan mereka. Sehingga program tersebut tepat sasaran sesuai kearifan lokal yang ada di Sumbar. ***
Irwan Prayitno
Rektor Universitas Adzkia
Harian Singgalang 4 November 2021