«

»

Selera

5 Juli 2015

Dia sudah bekerja. Berhasil atau gagal, tergantung penilaian masing-masing. Orang yang penilaian terlalu tinggi, atau dilumuri kepentingan tertentu, berhasil pun dikatakan, gagal. Begitu sebaliknya? Berhasil atau gagal, kadang bukan murni soal hasil, ukuran angka-angka, tapi selera.

Ukuran keberhasilan paling kasat mata, bagi seorang kepala daerah, ialah terpilih kembali pada periode berikutnya. Bila tidak, mudah disimpulkan telah gagal. Setidaknya bila dia berhasil, gagal mensosialisasikan keberhasilan. Kegagalan seperti ini gagal membaca gerak zaman, selera.

Sebaliknya, ada yang tak melakukan apa-apa, katakanlah gagal, tapi melenggang kembali pada periode kedua. Angkanya pun tak tanggung-tanggung, lewat 50 persen. Entah bagaimana ia menyihir pemilih? Ia seperti tahu sela-selanya. Pandai merebut hati rakyat, tanpa banyak bekerja.

Tapi, tokoh kita ini benar-benar sudah melakukan perbaikan. Waktunya habis berkeliling nagari. Bila sekadar pencitraan, untuk apa semuanya? Cukup beberapa saja. Perbanyak saja foto-foto. Sekali berkunjung, lalu serang dengan iklan-iklan. Usahanya banyak mati setelah menjabat.

Tapi, elektabilitasnya tetap tak melesat. Meski tetap di atas, tapi biasa-biasa saja. Sebagai petahana, tak kuat dan tak lemah juga. Dia membuat sejarah, tapi kayak tak diakui. Ini soal selera tadi. Dia mendudu saja bekerja, tak lihat kiri-kanan. Ereang dan gendeangnya tak main sehingga cenderung dipermainkan. Fakta diputarbalikkan. Bumbu ditambah, harusnya A berubah A minor.

Tak banyak profesor yang mau seperti dia. Bersusah-susah untuk urusan yang sederhana. Hampir semua potensi sudah dikerahkan, tapi tetap saja dianggap gagal. Minimal, belum diakui secara kolektif. Bukan tanpa prestasi, prestasi banyak, tapi diabaikan. Terompet tak dipersiapkan.

Keberhasilan memang banyak Tuan, tapi kegagalan seperti Tuannya hanya dia! Beberapa proyek infrastruktur, sudah mulai diklaim sana-sini. Sudah mengaku, ahli infrastruktur pula. Bila dia memang gagal, dari sudut mana Tuan itu merasa berhasil? Apalagi, yang kepala daerah juga.

Malah dia dituduh mementing kelompok dan dirinya saja. Padahal, ia selalu naik pesawat ekonomi. Tiga tahun pertama naik mobil pribadi yang diberi plat merah, istri dan anak-anak juga pakai mobil pribadi, termasuk menggaji sopirnya. Tak pernah membeli perabot selama menjabat.

Sejak tahun 2010, menolak perbaikan rumah dinas. Bahkan hingga kini. Perbaikan rumah penduduk akibat gempa menjadi perioritas, termasuk perkantoran. Mengisi pengajian rutin untuk pegawainya, dituduh pula mengejar honor yang 500 ribu itu. Padahal, pengajiannya bebas honor.

Tak sekali duakali, dia dibuatkan titian barakuak. Tapi, alhamdulillah, dia masih selamat. Bila Anda kenal sama dia, masalah yang seperti mentok langsung keluar dari mulutnya, serahkan ke Allah! Tulisannya, Allah itu Ada (Singgalang, 1/3/13), berkesan. Di bukunya, diletak di awal.

Ada pula yang menebarkan isu, bila dia juga yang terpilih, provinsi ini akan ditinggalkan. Sebab, ia pendukung capres yang kalah. Capres yang kalah ini, menangnya melangit pula di sini. Konon, batalnya capres yang menang itu datang ke sini, agar dia tak mudah mendapat legitimasi.

Padahal, capres yang menang ini juga belum tentu berhasil. Di mana-mana, banyak yang timpang. Di belakang, menterinya saja tak menghormati. Tapi, entahlah! Apakah masih mencari-cari simpati publik? Masyarakat seperti gampang disulut. Apalagi, soal pemerintah pusat, daerah ini pernah mengalami trauma berat. Makanya, ikut yang menang, tanduk berkubang, itu soal lain.

Bila dia tak terpilih pada periode kedua ini, mestinya nanti penggantinya juga tak terpilih. Sebab, standar keberhasilannya telah dibuat sangat tinggi. Tapi, tidak juga! Balik lagi pada selera di atas. Masing-masing pemimpin punya citra rasanya. Tergantung sela-selanya dapat atau tidak?

Ada orang yang selalu mengelu-elukan kepala daerah sebelumnya, tanpa tahu sebenarnya prestasinya di mana? Sementara, dia yang prestasinya sambuah, belum dianggap terlalu berguna. Sabarlah, Bang! Allah itu ada, sesuai buku itu. Bukankah Dutsur beriman, karena kata itu dalam?

Erizal

Singgalang Minggu 5 Juli 2015