Banyak pertanyaan begini: “Kenapa Irwan Prayitno tidak belajar silat, kok memilih karateâ€. Alasan yang menanya (selain dengan sinisme) juga lantaran Irwan adalah seorang penghulu di kaumnya.
“Saya susah juga menjelaskan, tetapi mungkin media bisa menyambungkan saya dengan publik yang bertanya begitu. Intinya, jangan bilang saya tidak suka silat atau tidak memperhatikan silat. Tapi sejak SD di Cirebon, saya belajar karate dan terus menerus sampai saya SMA, lalu terhenti sebenrat ketika saya kuliah tapi kemudian latihan lagi. Jadi panjang masanya saya berlatih. Bila memang seperti yang dimaui penanya tadi seorang ninik mamak menguasai silat, saya kan baru jadi pengulu belakangan ini saja,†kata Irwan.
Tapi menurutnya, antara keduanya, karate dan silat sama-sama memiliki keluruhan filosofi. Sama-sama memiliki watak tak memulai serangan.
Di Cirebon, ia berlatih di bawah Inkai. Ia melewati masa-masa sebagai pemegang Kyu (dari Kyu 10 hingga Kyu 5). Masa itu adalah masa penempaan pisik dan mental. “Ya, kebetulan saya mengenal karate pertama kali, bukan silat. Maka akhirnya saya keterusan saja berlatih,†katanya ketika ditanya kenapa tak pilih silat sebagai bela diri. Lagi-lagi Irwan berkata: “Bukan, bukan untuk berkelahi tapi untuk kesehatan pisik dan mental. Jadi saya pentingkan olahraganya dan menjalankan filosofi-filosofi karate itu,†kata penabuh drum ini.
Hingga Kyu5 dia dan orang tuanya pindah ke Padang. Latihan karatenya dilanutkan di Inkai di sekolahnya di SMP1 dan kemudian berlanjut hingga SMA.
Tapi ketika sudah berkuliah di Universitas Indonesia di Jakarta, kegiatan itu terhenti. Barulah ketika sudah duduk di parlemen, ia kembali menyisihkan waktu untuk berlatih dan mencari dojo (sasaran tempat latihan) terdekat dengan tempat tinggalnya.
Ketika sudah jadi gubernur, Irwan bertemu beberapa teman seperguruannya. Lalu mengajaknya latihan kembali di Padang. Maka jadilah ia berlatih lagi, kali ini bersama Inkanas.
Di sekitar gubernuran pagi-pagi Anda akan melihat pria itu melatih Mae-geri, mawashi gei, choko zuki hingga mawashi zuki.Haiiit……
Bagi Irwan yang terpenting adalah semangatnya, bukan tingkatannya. Meskipun ia beroleh DanIV tetapi baginya itu adalah kehormatan.
Dengan karate yang mengandung semangat bushido sesungguhnya menurut Irwan seorang karateka yang mengedepan adalah kesabarannya bukan emosinya. Bagaimana pengendalian diri yang mengesampingkan semua sakit hati akan membuat pikiran jadi bersih dan tubuh tentu saja menjadi sehat karenanya.
“Kembali ke soal silat dan karate dimana saya seolah ditempatkan lebih memberi perhatian pada karate, tidak. Bahkan semua seni beladiri yang bertujuan luhur saya suka. Dalam keterbatasan saya sebagai manusia, tentu saja satu itu saja yang bisa saya sanggupi untuk ikut berlatih. Tak mungkin semuanya. Saya mencoba menerapkan filosofi hampir semua seni bela diri, diawali dengan memberi hormat diakhiri dengan memberi hormat. Artinya, saling menghormati menurut saya adalah sebuah filosofi luhur, itu juga ada dalam karate,†kata psikolog ini.
Kalau begitu apa yang paling menarik bagi Irwan dalam karate? Lagi-lagi ia menjawab bahwa filosofinya itu. Dalam karete diajarkan, kontrol lah dirimu sebelum mengontrol orang lain, jika kamu ceroboh maka kecelakaan akan menimpamu.
“Dan ini salah satu dari filosofi karate, jangan kamu berpikir kamu harus menang, tapi berpikirlah bahwa kamu tidak boleh kalah. Kemenangan tergantung pada keahlianmu membedakan titik-titik yang mudah diserang dan yang tidak. Pertarungan didasari oleh bagaimana kamu bergerak secara hati-hati dan tidak (bergerak menurut lawanmu),†kata dia.
Dalam beberapa kesempatan ia berlatih bersama dengan anggota Satpol PP dan anggota Brimoda Polda Sumbar.
“Sekali lagi, ini agar badan tetap sehat dan kita tetap latihan mengendalikan diri sendiri, itu saja,†katanya, hosss!. (***)
Metro Andalas, 20 Agustus 2015