«

»

Jadi Gubernur, Langsung Mundur dari Partai

20 Agustus 2015

Mengemban jabatan selaku kepala daerah, jelas tak mudah. Selain dihadapkan pada beban tugas tak sedikit sehingga harus menguras tenaga, waktu dan pikiran. Namun, juga kritikan atau pun tudingan yang dilontarkan sejumlah kalangan. Mau tak mau kepala daerah harus fokus menjalankan tugasnya. Bukan malah terbelah mengurus persoalan lain, seperti menjadi pengurus partai.

Nah, tantangan ini sudah dipahami mantan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno jauh sebelum dirinya dilantik menjadi gubernur Sumbar pada 15 Agustus 2010 lalu. Itu pulalah sebab, Irwan harus melepas jabatan yang melekat pada dirinya, tak terkecuali menjadi pengurus di DPW PKS Sumbar. Dia tidak mau direcoki dengan urusan parpol selama menjadi gubernur Sumbar.

Mujurnya, keinginan Irwan ini sejalan dengan kebijakan PKS selaku partai pengusungnya. Sesuai kebijakan PKS, setiap kader terpilih menjadi pejabat publik/termasuk eksekutif, mau tak mau harus mengundurkan diri dari jabatannya di partai. Garisan partai ini berlaku mutlak bagi seluruh kader PKS di mana pun berada.

Selain Irwan yang harus mundur dari jabatannya selaku Ketua Majelis Pertimbangan DPW PKS Sumbar, juga terdapat beberapa kader PKS mundur seusai menjadi pejabat publik. Mulai dari mantan Menkominfo Tifatul Sembiring mundur dari jabatannya di DPP PKS, Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail juga mundur dari jabatannya di partai, dan lainnya.

Ketua DPW PKS Sumbar Trinda Farhan Satria mengakui adanya kebijakan partai tersebut. “Itu semua sesuai dengan garisan DPP PKS dan berlaku mutlak bagi seluruh kader. Mau tak mau kader harus mengikutinya,” sebut anggota DPRD Sumbar yang kini juga mencalonkan diri jadi bakal calon wakil bupati Kabupaten Agam itu.

Nah, keputusan bapak 10 anak ini mundur dari jabatannya di DPW PKS seusai dipastikan memenangkan pemilihan gubenur (Pilgub) Sumbar tahun 2010 lalu, juga didukung mantan Ketua Majelis Syuro DPP PKS Hilmi Aminuddin. “Kita sudah mewakafkan kader terbaik kepada masyarakat Sumbar,” sebut Hilmi tak lama seusai Irwan dilantik jadi gubernur.

Boleh jadi kepala daerah lain menyayangkan adanya kebijakan ini. Soalnya, bagi mereka pengaruh partai sangat berperan bagi kelancaran dan kelanjutan jalannya roda pemerintahan. Tak jarang kepala daerah mati-matian mempertahankan jabatannya selaku ketua partai, biarpun dirinya sudah terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah.

Namun tak begitu bagi Irwan. Dia pun mantap melepaskan jabatannya di partai. “Sejak awal, saya sudah berkomitmen ingin menjadi pemimpin bagi rakyat Sumbar, bukan partai. Salah satunya caranya, ya harus melepaskan jabatan di partai. Saya tak ingin mencampur-baurkan urusan partai dengan jabatan saya selaku gubernur Sumbar,” sebut suami Nevi Irwan Prayitno itu.

Ya, begitu lah Irwan. Bila sudah memutuskan dan semuanya sudah sesuai ketentuan, pastilah dia konsisten menjalankannya. Wajarlah kiranya selama menjadi gubernur, Irwan leluasa menjalankan tugasnya selaku gubernur Sumbar. Rata-rata sehari bisa 7 sampai 10 acara yang diikutinya. Tak jarang lokasi acara tersebut saling berjauhan, yang satu di Bukittinggi, satunya lagi di Batusangkar atau bahkan di Dharmasraya, atau waktunya sangat berdekatan, sehingga harus berburu waktu. Soal ini, dia berprinsip lebih baik datang duluan daripada terlambat. Jangan sampai masyarakat kecewa, prinsip itu yang selalu ia jaga.

Boleh dikata, tak ada lagi pelosok Sumbar yang belum dikunjungi Irwan. Sebut saja daerah-daerah terisolir seperti Mentawai, Pasaman, Dharmasraya, Sijunjung atau Solok Selatan. Jika tak bisa dikunjungi dengan kendaraan roda empat, maka daerah itu ia kunjungi menggunakan sepeda motor trail. (*)

Padang Ekspres, 20 Agustus 2015