“Sekiranya aku punya emas sebesar Gunung Uhud, niscaya aku tidak akan senang jika sampai berlalu lebih dari tiga hari, meski padaku hanya ada sedikit emas. Kecuali akan aku pakai untuk membayar hutang yang menjadi tanggungankuâ€. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Laporan: RYAN SYAIR
Dalam situasi yang sedikit berdesak-desakan, laki-laki berkacamata itu tampak rileks saja ketika ia harus ikut bergelantungan dalam sebuah bus besar milik bandara Soekarno Hatta bersama puluhan penumpang Garuda GA 162 kelas ekonomi lainnya. Meski harus berbaur dan bergelincit-pincit dengan rakyat biasa, namun tak sedikitpun tergurat perasaan malu, risih dan minder di wajahnya.
Padahal, semua orang tahu, ia adalah seorang pejabat dan penyelenggara negara, sebagaimana bunyi pasal 122 Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Ya, ia adalah Gubernur Sumatera Barat, orang nomor satu di Ranah Minang. Tak ada satu penumpangpun pada penerbangan kelas ekonomi pesawat Garuda tujuan Padang-Jakarta kala itu, yang tak mengenalnya.
“Saya benar-benar tak percaya. Mungkin bagi orang lain tidak, namun menurut saya ada gubernur yang duduk di kelas ekonomi dalam sebuah penerbangan, ini adalah istimewa. Sangat istimewa,†ujar Taufik Ismail, salah seorang Sastrawan Indonesia menuturkan kisahnya pada pertemuan tak sengaja dengan Gubernur Sumbar, Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, SPsi, MSc, dalam sebuah penerbangan kelas ekonomi Garuda GA 162 tujuan Padang-Jakarta, seperti dikutip dari laman http:// pks-jakarta.or.id/ kesaksian-taufik-isma il-tentang-gubernur- sumbar-irwan-prayitn o/ dan laman http://Âwww.portalsumut.com/
2014/05/ beredar-foto-gubernur -sumbar-irwan.html.
Diceritakan Taufik, ketidakpercayaannya itu bermula ketika ia melihat Irwan Prayitno (IP) melangkah ke “ruang rakyat†di kelas ekonomi penerbangan itu. Ruang dimana rakyat badarai memilih tempat duduk, sesuai kemampuan keuangan masing-masing. Sebagai seorang gubernur, tentu tidak satu penumpangpun yang akan berkecil hati, jika IP duduk di eksekutif atau business class yang nyaman.
“Saya sudah lama juga hidup, sering naik pesawat bersama banyak orang, mulai dari pejabat tinggi hingga orang biasa. Bagi saya, ada gubernur rendah hati seperti ini, adalah obat. Ia tak berjarak dengan rakyat. Ia tampil apa adanya. Bagi saya, ini adalah sebuah keteladanan,†katanya.
Dari catatan Haluan, sejak masa kepemimpinannya di Sumatera Barat, IP memang dikenal terbilang jarang, bahkan nyaris tak pernah menumpangi pesawat kelas bisnis, walaupun pesawat yang ditumpanginya adalah Garuda Indonesia. IP selalu memesan kelas ekonomi, meskipun tujuan dan kapasitasnya bepergian adalah sebagai seorang gubernur, sebagai pejabat negara.
Kebiasaan ‘aneh’ IP ini pulalah yang akhirnya mengundang keingintahuan banyak orang, terutama tentang kesederhanaan sosok mantan anggota DPR RI kelahiran 20 Desember 1963 itu. Orang ingin tahu, apakah benar hal tersebut dilakukan IP. Karena memang, sejumlah fakta dan berbagai peristiwa nyata dibalik kesederhanaan dan keapaadaannya, hampir tak pernah dipublish di media-media.
Pada awal Mei 2014 lalu, salah seorang nettizen juga pernah mengunggah foto IP di media sosial facebook. Dalam foto itu, terlihat IP sedang terlibat antre pengecekan tiket pesawat Lion Air sebelum menaiki pesawat. Meski tidak ada keterangan yang jelas IP akan terbang kemana, tapi dari buramnya gambar diketahui bahwa pengambilan foto dilakukan dengan menggunakan kamera HP.
Anti Protokoler dan Atribut
IP yang dihubungi Haluan, Senin (10/8) mengaku, jika ketentuan protokoler yang mengatur seorang gubernur untuk bepergian dengan pesawat, kerap dilanggarnya. Dengan tegas, IP memang mengaku tak mau ‘terlalu patuh’ untuk mengikuti aturan protokoler tersebut. Bagi gubernur yang semenjak dilantik dan hingga kini masih berkantor di rumah dinasnya itu, segala fasilitas adalah sunah. Yang wajib adalah menjalankan kewenangan dan tanggung jawab yang melekat dari jabatan.
“Saya sebenarnya tak mau terlalu jauh membahas soal itu (penerbangan di kelas ekonomi). Karena memang tidak ada maksud apa-apa dan saya juga sudah terbiasa seperti ini. Duduk di kelas ekonomi, itulah saya. Nikmatnya naik pesawat itu adalah saat take off tertidur dan ketika landing terbangun,” ujarnya ringan.
Ketika terus didesak Haluan, IP akhirnya angkat bicara. Selama menjabat dan menjalankan tugasnya sebagai gubernur, ia mengaku sudah tak menghitung lagi berapa ratus kali ia naik pesawat. Namun diakui, selama itu pulalah dirinya mencatatkan diri sebagai ‘penumpang setia’ di kelas ekonomi. Tanpa harus merasa risih, ia terlihat tak canggung untuk berbaur dengan ratusan penumpang pesawat lainnya dari kalangan rakyat biasa.
“Alhamdulillah, sudah ratusan kali naik pesawat selama menjadi gubernur, saya selalu menumpang di kelas ekonomi. Walaupun sebenarnya ada jatah di kelas bisnis. Bagi saya, kelas ekonomi atau bisnis itu sama saja, tak ada bedanya. Justru di kelas ekonomi jauh lebih baik, karena saya bisa berkomunikasi dengan masyarakat,†tandas profesor yang telah melahirkan puluhan judul buku bertemakan anak dan keluarga, manajemen SDM, politik dan dakwah itu.
Selama menjadi gubernur sejak dilantik 2010 lalu terang IP, dirinya juga baru menikmati fasilitas berupa mobil dinas (mobnas) baru, persis di tahun ke-4 kepemimpinannya. Sebelumnya, IP justru lebih sering menggunakan mobil pribadi yang disulapnya menjadi kendaraan operasional kedinasan. Kebijakan pemakaian mobil pribadi ini, juga diberlakukan untuk kepentingan istri dan anak-anaknya.
“Dulu pada awal menjabat, masukan untuk pembelian mobil dinas baru, saya tolak. Karena buat apa beli yang baru, toh mobil yang lama masih bisa jalan. Begitupun soal fasilitas rumah dinas. Selama rumah-rumah penduduk korban gempa belum selesai dibangun, sampai sekarang saya belum mau untuk membangun (rumah dinas),†pungkas Irwan.
Selain tak mau terikat protokoler, IP yang dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan penuh kesahajaan itu, juga merupakan sosok gubernur yang tak terlalu menonjolkan antribut. Untuk kedua hal ini, IP sejak awal masa kepemimpinannya, bahkan telah mewanti-wanti dan meminta kepada siapapun untuk tidak memaksa dirinya ‘berubah’.
Dalam pelaksanaan tugas kesehariannya sebagai gubernur, di berbagai kesempatan Irwan juga terlihat tak pernah mengenakan atribut gubernur, yang sedianya dipasang di bagian dada sebelah kiri para gubernur atau kepala daerah kebanyakan.
“Jangan paksa saya mengubah style hidup saya. Bagi saya, tampil sederhana tanpa atribut dan minim protokoler, adalah simbol kedekatan dan tidak adanya pembatas antara pemimpin dengan rakyat. Protokoler dan atribut hanya akan menjauhkan pemimpin dengan rakyatnya. Sungguh, saya tak ingin begitu, karena saya juga manusia biasa,” tandas Irwan yang benar-benar meneladani kesederhanaan Rasulullah SAW sebagaimana sabda yang diriwayatkan HR Bukhari dan Muslim di awal tulisan tadi. (**)
Haluan, 11 Agustus 2015