«

»

Kurban dan Kepedulian

16 September 2016

Ibu Sri pemulung di Padang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Warga Kurao Pagang ini menyerahkan uang Rp 2 juta kepada petugas. Ia berkurban. Cerita itu sampai ke telinga saya. Lalu kisah Nenek Sahati (67) akhirnya bisa berkurban seekor kambing seharga Rp2 juta setelah menabung selama tujuh tahun. Nenek Sahati adalah pemulung yang tinggal di Kota Sukabumi Jawa Barat. Setiap hari ia berusaha menyisihkan uang yang ia peroleh guna memenuhi keinginannya untuk berkurban. Sedapatnya, ia sisihkan hasil memulung untuk berkurban. Kadang 5000 rupiah, kadang 6.000 rupiah.

Di tempat lain, Surabaya, nenek Rasma (61) setelah menabung lebih dari setahun berhasil mengumpulkan Rp2 juta untuk berkurban. Nenek Rasma juga seorang pemulung. Dan di Pasuruan, seorang tukang becak bernama Bambang (51) berkurban satu ekor sapi dengan menyerahkan sapi yang ia beli kepada pihak Masjid Al Ikhlas, Purworejo, Pasuruan. Demikian pula nenek Yati (60) di Tebet Jakarta, pemulung yang sehari-hari tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah, berkurban dua ekor kambing dan menyerahkannya kepada pihak Masjid Al Ittihad Tebet Jakarta.

Kisah-kisah kaum dhuafa yang berkurban ini pernah mewarnai media elektronik, media online dan cetak beberapa waktu lalu. Masyarakat, pemerhati masalah sosial, media, hingga pihak pemerintah memberikan pujian kepada mereka yang sebenarnya pihak yang layak dibantu namun justru memperlihatkan kepedulian sosial yang tinggi.

Bagi kita yang Allah SWT berikan rezeki lebih dibanding kaum dhuafa yang berkurban tersebut, mungkin bertanya. Mengapa mereka bisa, sedangkan kita kadang agak sulit berkurban seolah-olah sudah tidak ada lagi dana untuk itu. Kaum dhuafa tersebut memang tidak memiliki kewajiban berzakat, bahkan mungkin masuk ke dalam golongan penerima zakat. Namun mereka mampu menginfakkan rezeki yang mereka peroleh untuk dialokasikan kepada kurban. Ini seperti yang difirmankan Allah SWT dalan surat Al Baqarah ayat 3, wamimmaa rozaqnaahum yunfiquun, yang artinya, “dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

Berkurban memang berbeda dengan berzakat. Orang yang berzakat ada batasan atau nasab terhadap harta atau pendapatannya. Baru ia bisa berzakat. Atau dengan kata lain seseorang yang berzakat karena ia sudah dianggap cukup. Sedangkan berkurban tidak harus ketika kondisi cukup. Dalam keadaan sulit pun bisa berkurban, seperti diperlihatkan oleh kisah kaum dhuafa tadi.

Berzakat adalah kewajiban, dan jumlahnya sudah ditakar. Pada masa Khalifah Abu Bakar Siddiq r.a orang yang tidak membayar zakat pernah diperangi. Berbeda dengan berkurban yang merupakan hasil dari kemauan hati, dananya dikeluarkan dari rezeki yang diperoleh. Meskipun seseorang belum wajib zakat, namun karena berasal dari kemauan di hati, maka disisihkanlah dananya dari rezeki yang diperoleh.

Berkurban adalah menunjukkan kepedulian kepada sesama. Pemulung dan tukang becak yang berkurban, mereka telah memberikan keteladanan luar biasa kepada kita. Mungkin sabda Rasulullah SAW patut kita renungkan. Dari Abu Hurairah r.a Nabi SAW berkata, “Barangsiapa memiliki kelapangan dan tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-sekali mendekati tempat sholat kami” (HR. Ahmad).

Selain sebagai bentuk kepedulian kepada sesama, berkurban juga memberikan banyak manfaat bagi yang melakukannya. Dari Aisyah r.a, Nabi SAW berkata, “Tidak ada amalan yang paling dicintai oleh Allah pada Hari Raya Kurban yang dikerjakan oleh anak Adam kecuali berkurban, sesungguhnya pada hari kiamat ia akan datang dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya dan bulu-bulunya dan sesungguhnya darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah, maka berbahagialah kamu dengan berkurban” (HR. Tirmizi, Shohih).

Dari Zaid bin Arqam berkata: “Saya bertanya wahai Rasulullah, untuk apakah hewan kurban ini? Rasulullah menjawab: ia merupakan sunnah Nabi Ibrahim sebelum kamu. Apakah yang kami dapatkan ya Rasulullah? Rasul menjawab setiap helai bulu kurban banyak membawa kebaikan”  (HR. Ahmad).

Berkurban memang bukan kewajiban layaknya zakat. Namun di situlah keindahannya. Justru banyak orang yang berkurban padahal ia belum wajib berzakat dan masih kekurangan. Mereka berkurban karena telah terbentuk karakter kepedulian pada diri mereka. Berkurban tidak perlu menunggu kaya atau cukup. Karena berkurban adalah membentuk karakter. Seperti halnya Nabi Ibrahim a.s yang merelakan anaknya Nabi Ismail a.s, mungkin  seperti itu pulalah kita merelakan harta yang ada di kita untuk berkurban membantu saudara-saudara kita yang masih sulit untuk menikmati protein hewani dalam kehidupan kesehariannya.

Semoga bagi yang berkurban tahun ini, Allah SWT berikan ganjaran terbaik. Dan bagi yang belum berkurban, semoga di tahun berikutnya bisa berkurban. Sesuatu yang baik dalam ajaran Islam, insya Allah sangat banyak manfaatnya dalam kehidupan kita. Berkurban adalah salah satunya. Wallahua’lam. ***

Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar

Singgalang, 16 September 2016