Kita tentu merasakan perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Suatu ketika suhu udara teÂraÂsa menyengat dan panas seÂÂkali. Namun secara tiba-tiba berubah menjadi hujan leÂbat dan angin berÂtiup kenÂcang disertai baÂdai.
RenÂtang waktu yang biaÂsanya kita keÂnal sebagai muÂsim hujan, beÂrubah menÂÂjadi panas dan keÂring keÂrontang. SeÂÂbaÂliÂkÂnya, renÂtang waktu yang biaÂsanya muÂsim keÂmarau beÂrubah menÂjadi muÂsim huÂjan berÂkeÂpanÂjangan dan ekstrem.
Secara tiba-tiba turun hujan lebat seperti dicurahÂkÂan dari langit dan terkaÂdang tak putus-putus dari pagi hingga pagi lagi. AkiÂbatnya terjadi banjir dan longsor di sejumlah temÂpat.
Juga tak ayal lagi wilayah Sumatera Barat yang banyak perbukitan mengalami longsor terÂgeÂrus air. Daerah-daerah di dataran rendah, teruÂtaÂma di pinggir pantai segera tergenang banjir.
ÂTermasuk, penyebab meÂningÂÂgalnya anggota Mapala Unand akibat terseret arus suÂngai yang datang tiba-tiba.
Sebaliknya pada suatu renÂtang waktu yang tak terduga dan berbeda dari biasanya terjadi keÂmarau ekstrem yang cukup panÂjang. Saat itu matahari berÂsinar sangat terik seperti marah, suhu udara panas luar biasa tanpa hujan setetes pun. Akibat lama tak turun hujan, banyak sawah-saÂÂwah milik penduduk gagal paÂnen dan telantar karena kekeÂriÂngan. Tak hanya itu, listrik pun engÂgan menyala karena minus air yang akan menggerakkan turÂbin PLTA. Padahal, PLTA meÂruÂpakan andalan pemÂbangkit teÂnaga listrik di Sumatera Barat.
Perubahan iklim (climate chaÂnge) memang telah menjadi nyata dan telah diakui para ahli kliÂmatologi di belahan bumi maÂna pun. Kita sebagai masÂyarakat awam pun bisa merasakan dan bisa melihat sendiri buktinya. PeÂrubahan iklim telah menjadi perÂhatian dunia, dan masalah gloÂbal penduduk bumi, tak peÂduli di benua mana pun mereÂka bermukim dan dari bangsa dan ras mana pun mereka berasal.
Kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia misalnya, juga dirasakan dampaknya oleh negara tetangÂga Singapura, Malaysia, bahkan ThaiÂland. Pencemaran udara akiÂbat pembakaran bahan bakar fosil (BBM) oleh pabrik-pabrik serta kendaraan bermotor juga teÂlah merusak lapisan ozon di atÂmosfir bumi yang akan mengÂakiÂbatkan pemanasan suhu buÂmi secara global yang dikenal deÂngan istilah global warming.
Penyebab pemanasan global utaÂma adalah terjadinya efek ruÂmah kaca (green house effect) yang terjadi di lapisan atmosfir. PaÂda akhirnya kerusakan-keruÂsaÂkan dan perubahan inilah yang meÂÂnyebabkan terjadinya peruÂbahan iklim (climate change).
Bulan lalu Duta Besar Swiss untuk Indonesia Heinz Walker-NeÂderkoorn beserta sejumlah paÂkar meteorologi dunia berÂkunÂjung langsung ke stasiun Global Atmosphere Watch (GAW), stasiun pengamatan atÂmosfir global Bukit Kototabang. Stasiun yang didirikan lembaga OrÂganinasi Meteorologi Dunia (World Meterology OrganiÂsaÂtion) terletak Nagari Bukik KoÂtotabang Kecamatan Palupuh KaÂbupaten Agam, sekitar 17 kilometer dari kota Bukittinggi.
Di kalangan pakar meteoÂroÂlogi dunia nama GAW Bukit KoÂtotabang cukup terkenal. Di duÂnia hanya ada dua stasiun GAW saja yang secara repreÂsenÂtatif terletak persis di garis khatuÂlistiwa, yaitu di Mount Kenya dan Bukit Kototabang. Namun Bukit Kotatabang lebih istimewa kaÂrena terletak di daerah ketingÂgian berhawa sejuk dan bersih serta dikelilingi hutan tropis yang masih alami. Secara umum Sumatera Barat juga relatif dekat deÂngan Samudera Hindia, seÂhingÂga menarik untuk kajian meteorologi. Meski sama-sama terletak di garis khatulistiwa, namun Mount Kenya terletak di kawasan gurun pasir.
Kembali ke topik perubahan iklim, para pakar dari sekitar 80 negara telah mendirikan sekitar 30 stasiun GAW di berbagai negara untuk mengamati dan menganalisa perubahan iklim, pemanasan global, pencemaran udara dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian antisipasi dan solusi dari persoalan tersebut bisa ditemukan secara akurat.
Secara praktis tugas kita unÂtuk mengatasi perubahan iklim, pemanasan global, penceÂmaran alam sebenarnya sederhana saja. PerÂtama adalah mencegah penÂceÂmaran terhadap udara, air maupun tanah. Kedua hindari meÂrusak ekosistem lingkungan seÂperti menebang pohon, memÂbunuh hewan yang nantinya akan merusak keseimbangan ekosistem.
Seperti firman Allah dalam QS 7:56; “Dan janganlah kamu memÂbuat keÂrusaÂkan di muÂka bumi, sesuÂdah (Allah) memÂperÂbaikinya dan berdoalah keÂpada-Nya dengan rasa takut (tiÂdak akan diterima) dan peÂnuh harapan (akan dikaÂbulÂkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.â€
Niscaya manusia yang melaÂkuÂkan kerusakan di muka bumi, akan mendapat ganjaran yang seÂtimpal dengan perbuatannya terÂÂsebut. Lingkungan yang baik, asri dan seimbang akan memÂbawa kemaslahatan dan kenyaÂmaÂnan bagi manusia di muka bumi. (*)
Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar
Padang Ekspres 9 Oktober 2013