«

»

Hidup Sederhana, Dahulukan Kebutuhan Warga

11 Agustus 2015

Padang, Singgalang
Pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. Sesampai di landasan parkir, penumpang turun dari dua pintu yang disediakan. Dari landasan parkir ke terminal penumpang cukup jauh. Pihak bandara menyediakan bus untuk mengantarkan penumpang. Penumpang berjubel berdiri karena bus tak menyediakan banyak tempat duduk. Di antara mereka yang berdiri itu, ada sosok Irwan Prayitno.

Gubernur Sumbar itu tak segan bergabung dengan penumpang pesawat lainnya menaiki bus bandara. Demikian pun di atas pesawat, ia membaur dengan penumbang kebanyakan, di kelas ekonomi. Padahal, sebagai pejabat negara, Irwan bisa mendapatkan fasilitas VIP. Tapi, ia tak ingin dimanjakan dengan semua itu. “Saya biasa pakai kelas ekonomi, bersama penumpang-penumpang lainnya,” ujar Irwan.

Ketika berangkat dari Bandara Internasional Minangkabau, Irwan pun tak ingin diperlakukan berlebihan sebagai orang nomor satu di Sumatera Barat. Misalnya, sore itu. Hujan baru saja reda, jarum jam menunjukan pukul 16.00 WIB. Suara sirine voreijer meraung-raung menuju BIM, diikuti satu unit sedan Toyota jenis Camry. Sedan itu menepi di areal keberangkatan, seorang pria dengan tubuh kecil bergegas turun. Tanpa arahan protokel yang formal, ia membopong tas bawaannya sendiri. Kemudian berbaur dalam penumpang pesawat lainnya menuju Jakarta.

Irwan saat itu ia bergegas ke Jakarta ada urusan dengan Kementrian Kehutanan dalam proses pembebasan sejumlah lahan untuk pembangunan di Sumbar. Irwan tidak naik pesawat pada kelas bisnis, namun hanya menggunakan kelas ekonomi. Sehingga dia persis berada bersama dengan masyarakat Sumbar yang terbang Padang-Jakarta. Begitu juga dengan kendaraan yang ditumpangi tadi, ternyata bukan kendaraan baru. Hanya bekas peninggalan dari mantan Wakil Gubernur Sumbar, H. Marlis Rahman. Meski telah empat tahun memimpin Sumbar, Irwan tidak pernah meminta mobil dinas baru.

Irwan meminta siapa pun untuk tidak memaksa dirinya berubah sesuai ketentuan protokoler.”Jangan paksa saya mengubah gaya hidup saya, karena bagi saya fasilitas jabatan apa pun adalah sunnah, kewenangan justru suatu kewajiban bagi saya,” katanya.
Ketimbang menggunakan anggaran yang tersedia, Irwan mengoptimalkan penggunaan fasilitas yang telah ada. Tak jarang Irwan menggunakan mobil pribadinya untuk melaksanakn tugas. Bahkan, untuk menjemput tamu Pemprov Sumbar dari Jakarta, Irwan masih menggunakan mobil pribadinya, bukan mobil dinas. Ketika disodori alasan menutup malu kepada menteri atau pejabat negara lainnya yang datang berkunjung, Irwan lebih memilih menggunakan mobil pribadinya untuk dijadikan mobil pelat merah.
Kondisi itu juga berlaku dengan sang istri Hj. Nevi Irwan Prayitno. Istrinya tidak mendapatkan mobil dinas, Hj. Nevi Irwan Prayitno hanya menggunakan mobil pribadi untuk kegiatan sebagai Ketua PKK. Hebatnya, sejak dilantik menjadi Gubernur Sumbar, Irwan menerapkan kesederhanaan bagi seluruh keluarganya. Hingga sekarang anak-anaknya tidak pernah menikmati fasilitas Pemprov Sumbar. “Karena memang anak-anak saya itu sudah terbiasa hidup mandiri,”ujarnya.

Kesederhanaan itu ternyata tidak dibuat-buat Irwan. Sikapnya itu datang sendiri dari dalam dirinya. Bukan dirinya tidak tahu cara menggunakan fasilitas, namun hanya ingin lebih hemat terhadap keuangan negara.

“Jika saya menggunakan uang pribadi saya kadang juga bisa naik Alphard, tapi jika saya gunakan uang negara saya harus berhemat. Karena itu uang rakyat, makanya untuk sekadar terbang ke Jakarta mengapa saya harus naik kelas bisnis dengan kelas ekonomi juga bisa sampai,”sebut Irwan ketika ditanyakan tabiatnya yang suka naik kelas ekonomi.

Kebiasaannya itu juga bukan hal baru dilakukannya, Irwan begitu dilantik pada Agustus 2010 lalu mendapatkan Sumbar dalam keadaan porak poranda akibat gempa bumi 2009. Rata-rata fasilitas Pemerintah Provinsi Sumbar rusak akibat gempa. Parahnya, ribuan rumah warga masyarakat Sumbar bersujud ke tanah, tak sedikit pula yang rata.

Masyarakat hidup dengan kecemasan, sebagian tinggal di tenda darurat. Sebagian lagi menumpang pada gedung-gedung yang masih bisa digunakan. Begitu juga dengan pusat perkantoran di kantor Gubernur Sumbar. Sejumlah gedung runtuh, termasuk gedung empat lantai Kantor Gubernur, meski tak runtuh namun dindingnya mengkawatirkan.

Dengan kondisi itu Irwan tidak lagi memikirkan fasilitas apa yang bisa didapatnya sebagai gubernur, namun bagaimana bisa membangun Sumbar kembali untuk bangkit. Sehingga dia menolak mengadakan mobil dinas baru, termasuk membangun kantor baru untuknya. Irwan memutuskan untuk bekerja di rumah dinas. Sampai semuanya rumah masyarakat mendapatkan rehabilitasi dan rekontruski. Termasuk perbaikan gedung pemerintah yang rusak.

“Untuk apa saya minta kantor baru, sementara rumah masyarakat saja banyak yang rusak. Saya pikir lebih baik dana itu dialokasikan untuk membantu masyarakat,”ujarnya.

Akhirnya hingga sekarang Irwan masih saja menempati rumah dinasnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Semua dilakukan di rumah. Kondisi itu juga mempermudah dirinya untuk melayani masyarakat. Karena tanpa harus bolak-balik ke kantor, dirinya juga dapat menyelesaikan pekerjaan. “Ada baiknya juga, sebagai pelayan masyarakat, pekerjaan jadi cepat selesai,”kelakarnya.

Dalam kunjungan ke lapangan, Irwan biasa berbaur dengan masyarakat dan para staf. Ketika hendak beristirahat makan, Irwan tak memandang tempat makan itu mesti berkelas. Ia bisa makan di warung sederhana. Ketika makan, ia biasa mengajak pengawal, staf dan warga duduk semeja. Irwan pun biasa makan nasi bungkus di lapangan.

Kesederhanaan Irwan tetap terjaga dengan baik. Pernah, Penyair Taufiq Ismail, mendapati Irwan satu pesawat di kelas ekonomi, menilainya sebagai hal istimewa dan sebuah keteladanan. Terkait penampilannya yang sederhana, tanpa atribut dan minim protokoler, Irwan mengatakan ia tak ingin ada pembatas antara dirinya dan masyarakat.
Tepat Waktu
Meski dengan fasilitas yang sederhana, Irwan tetap menghargai waktu. Irwan yang ingin serba cepat dan tepat waktu. Setiap melakukan kunjungan ke daerah, rombongan gubernur nyaris melaju dengan kecepatan tinggi. Kondisi itu membuat SKPD berusaha mengelak ikut iring-iringan kendaraan gubernur karena tak siap nyali. Irwan berprinsip, lebih baik ia datang duluan daripada terlambat.

Contoh saja usai Lebaran kemarin. Irwan menghadiri acara halal bi halal masyarakat dan perantau di Nagari Kapau, Kabupaten Agam. Acara dijadwalkan pagi. Tapi, yang namanya pagi untuk urusan masyarakat di kampung bisa berarti di atas pukul 10.,00 WIB. Sementara, Irwan sudah tiba pagi-bagi sekali. Hal itu membuat masyarakat di sana terheran-heran.

Kalau ke luar kota memakai mobil pengawalan untuk mempercepat waktu, di dalam kota, Irwan menolak menggunakan mobil pengawalan, kecuali dalam keadaan mendesak. Seringkali pemilik acara masih menunggu-nunggu kedatangan gubernur dengan menyimak raungan sirene mobil pengawalan. Ternyata sirine itu tak pernah terdengar, Irwan sudah datang tepat waktu tanpa pengawalan dan malah sudah duduk bersama mereka. Menjaga agar tidak ada jarak dirinya dengan masyarakat, atribut gubernur yang biasa dipasang di dada kiri oleh gubernur atau pejabat pada umumnya nyaris tak pernah dipakainya.104/007

Singgalang, 11 Agustus 2015