«

»

IP dan ANAKNYA: “Menerapkan Filofosi Anak Dipangku Kemenakan Dibimbing”

25 Agustus 2015

Anak dipangku kamanakan dibimbiang, bidal adat yang tak lekang dek panas tak lapuk dek hujan itu meski belum jadi Datuk Rajo Bandaro Basa,  tetapi itu sudah diamalkannya sejak lama. Menurut Irwan, sebagai, orang Minang, seorang pria alangkah lengkapnya kehormatan yang diberikan oleh adat. Berketurunan lewat dua garis, anak dari garis ayah, kemenakan dari garis ibu.

“Di tempat lain, yang disebut keluarga itu hanya ayah, ibu dan anak saja. Tetapi di kita, alangkah kayanya kita. Kebudayaan kita dan adat kita berjalin berkelindan dengan agama,” kata Irwan dalam satu percakapan di hari-hari menjelang habis masa jabatannya sebagai Gubernur Sumatera Barat 2010-2015.

Ketika bicara tentang kemenakan, Datuk Rajo Bandaro Basa itu segera paham bahwa yang dimaksud bukan saja anak-anak dari saudara perempuannya saja melainkan semua anak-anak dari saudara perempuan sepersukuan Tanjung yang menjadi suku ibunya, dan tentu juga suku Irwan Prayitno.

Maka dirinya tiada putus berhubungan dengan para kemenakan sepersekuan itu semenjak dia menjadi anggota DPR RI sejak Pemilu 1999 dari Partai Keadilan dan dilanjutkan dengan Partai Keadilan lima tahun berikutnya. Tiap kali ia pulang ke Padang, baik dalam rangka incognito maupun ketika kunjungan resmi sebagai anggota parlemen, senantiasa Irwan menyempatkan diri berkumpul-kumpul dengan para kemenakan itu. “Jumlahnya cukup banyak, dan segitu banyak pula masalah. Dari masalah ekonomi sampai masalah keluarga. Kami berbincang bersama dan sebagai seorang pendidik tentu saja saya lebih banyak berperan sebagai guru, mengarahkan para kemenakan itu,” kata Irwan.

Barangkali itu pula sebabnya para tetua dalam lingkungan persukuan Tanjung kemudian mendaulatnya memangku gelar pusaka kaum Datuk Rajo Bandaro Basa. “Tadinya terasa berat, dan saya membayangkan betapa besar tanggung jawab menjadi Datuk itu. Tapi hati saya dibesarkan oleh dukungan para tetua adat, baik dipersukuan kami sendiri maupun ninik mamak dalam Nagari Pauh IX, Kuranji. Maka dengan Bismillah, saya pikullah beban itu,” kata ayah sepuluh anak ini.

Dalam menjalankan kamanakan dibimbiang ia tidak membeda-bedakan kemenakannya. Semua mendapat perhatian yang sama.
Lalu bagaimana ia menjalankan filosofi anak dipangku?
Irwan Prayitno menikah dengan Nevi Zuairina, seorang teman sekuliahnya di Universitas Indonesia pada tahun 1985. Jadi, dalam masa kuliah, Irwan-Nevi sudah memiliki tanggung jawab mamangku anak sebagaimana dilanggamkan dalam bidal adat Minang. Kuliah, membesarkan anak, menantang pria itu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. “Punya anak itu adalah pengejawantahan tanggung jawab pria. Bagaimana mungkin tidak bekerja keras sementara anak-anak butuh makan dan biaya. Maka dari situ saya berkeyakinan bahwa anak sesungguhnya membentuk seorang pria bersemangat mencari kehidupan yang lebih layak. Anak mendorong pria berusaha keras mencari kehidupan untuk menunaikan amanah Allah atas anak-anak yang dititipkan kepada kita,” kata Irwan.

Alhamdulillah, ia bisa menyelesaikan kuliah bahkan memulai usaha baru mendirikan lembaga pendidikan, lalu mengajak anak dan istrinya merantau lagi ke Malaysia untuk menambah ilmu.”Semua juga demi anak-anak dan ibadah,” kata Irwan.
Bagaimana caranya ia membagi perhatian kepada sepuluh anaknya itu? Menurut Irwan, ia tidak membeda-bedakan sayang kepada anaknya, seperti juga ia tidak membeda-bedakan para kemenakannya dalam persukuan Tanjung. Jika para kemenakan butuh bimbingan, maka anak-anak memang harus diemong, dipangku dalam arti luas.

Hingga hari ini, semua anaknya tetap kalau minta uang kepada Irwan, bukan kepada Nevi. “Sampai minta beli pulsa tetap kepada ayahnya,” kata Irwan pula. Irwan juga tidak memberikan anaknya uang dalam jumlah besar. Mereka tahu ayahnya juga tidak orang kaya dengan uang berlimpah. Jadi jumlahnya proporsional saja, makin tinggi tingkat pendidikannya berarti makin besar jumlah kebutuhannya.

Dalam satu hari, ada saja diantara anaknya yang minta uang belanja, maka dengan sabar Irwan meraih ponselnya kemudian mengirimi anaknya uang via SMS banking. Ia tidak beri sekaligus misalnya untuk sebulan. “Jika diberi sekali banyak, misalnya untuk sebulan tentu mereka hanya sekali sebulan mengubungi saya ayahnya. Saya mau tiap hari mereka berkabar kepada saya tentang apa saja. Jika sedang berpergian, maka dalam mobil saya meneleponi mereka menanyakan bagaimana keadaan mereka. Anak itu hiburan bagi saya dan istri saya, jika kami berteleponan banyak hal lucu yang kadang kami bincangkan dan itu sangat membahagiakan,” kata Irwan.(**)