«

»

Incumbent Tumbang

10 Februari 2021

Ada yang menarik untuk dicermati dan dianalisa terkait kompetisi pilkada, yaitu kekalahan kepala daerah incumbent di pilkada, khususnya di Sumatera Barat. Yang dimaksud kepala daerah incumbent adalah kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang masih menjabat, dan kembali ikut berkompetisi di pilkada. Saya telah mencermati fenomena ini sejak pilkada serentak tahun 2010 hingga pilkada 2020 yang baru selesai dilaksanakan.

Kepala daerah incumbent menurut penilaian saya cukup berhasil memimpin daerah, tapi kalah bersaing dengan pendatang baru. Kekalahan incumbent ini juga terjadi pada Anggota DPRD di Sumbar. Bila dibandingkan dengan daerah lain misalnya di Jawa, incumbent di sana berpeluang besar untuk menang. Sehingga incumbent di Jawa menjadi rebutan partai politik untuk kembali diusung di pilkada.

Sementara untuk Sumbar, kita bisa melihat beberapa contoh kepala daerah incumbent di Sumbar yang kalah. Tahun 2010, hanya dua kepala daerah incumbent yang menang yaitu Nasrul Abit di Kab. Pesel dan Shadiq Pasadigoe di Kab. Tanah Datar. Selebihnya kepala daerah incumbent yang maju kembali mengalami kekalahan.

Saat itu yang mengalami kekalahan di antaranya adalah: Marlon di Kab. Dharmasraya, Yusuf Lubis di Kab. Pasaman, Gusmal di Kab. Solok, Amri Darwis di Kab. 50 Kota, dan Nurfimanwansyah di Kab. Solok Selatan. Untuk pilkada gubernur, gubernur incumbent Marlis Rahman juga mengalami kekalahan.

Sedangkan di pilkada tahun 2015, kepala daerah incumbent yang tumbang di antaranya adalah:  Ismet Amzis di Kota Bukittinggi, Beni Utama di Kab. Pasaman, Adigunawan di Kab. Dharmasraya, Irzal Ilyas di Kota Solok, Aditiawarman di Kab. Pessel,  Desra Ediwan di Kab. Solok, dan Yusirwan Yunus di Kab. 50 Kota.

Sebelumnya, di beberapa pilkada incumbent juga mengalami kekalahan. Di antaranya, Syamsul Bahri di Kota Payakumbuh, Ali Yusuf di Kota Sawahlunto, dan Hendri Arnis di Kota Padang Panjang.

Pada pilkada tahun 2020, berdasarkan keputusan KPUD ada beberapa incumbent yang mengalami kekalahan, yaitu: Ramlan Nurmatias di Kota Bukittinggi, Hendra Joni di Kab. Pesisir Selatan, Yulianto di Kab. Pasaman Barat, Trinda Farhan di Kab. Agam, Abdurrahman di Kab. Solok Selatan, Yulfadri Nurdin di Kab. Solok, Ferizal Ridwan di Kab. 50 Kota, Arival Boy di Kab. Sijunjung, Zuldafri Darma di Kab. Tanah Datar dan Nasrul Abit di Pilkada Gubernur.

Dari seluruh daerah yang melaksanakan pilkada 2020, beberapa kasus sengketa pilkada sudah masuk kasusnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini kita masih menunggu keputusan definitif dari MK dan juga Kemendagri. Bagi yang tidak bermasalah di MK, insya Allah akan dilantik sesuai jadwal habisnya jabatan bupati dan wali kota.

Bila dihitung secara persentase. Lebih 50% kepala daerah incumbent di Sumbar mengalami kekalahan. Jadi, incumbent ternyata lebih berpeluang kalah, bukan berpeluang menang. Padahal dalam waktu hampir 5 tahun, incumbent berkesempatan banyak bertemu masyarakat. Banyak program dan kegiatan untuk rakyat selama hampir lima tahun tersebut. Kebijakan dan keberpihakan kepada rakyat seharusnya bisa menarik dukungan masyarakat untuk kembali memilih incumbent. Maka bila dibandingkan dengan pendatang baru, mereka tidak punya peluang dan kesempatan seperti incumbent. Tetapi kenapa incumbent bisa kalah?

Dari banyak survei terhadap kepuasan masyarakat Sumbar, hasilnya menunjukkan bahwa harapan atau keinginan masyarakat Sumbar terhadap pemimpin cukup tinggi. Masyarakat sepertinya ingin ideal untuk memilih  pemimpinnya. Masyarakat juga ingin pemimpinnya memenuhi semua harapan mereka. Walaupun pemimpin sudah bekerja maksimal tapi jika  dilihat hasilnya belum maksimal, maka masyarakat akan kecewa. Prestasi suatu daerah yang dipimpin incumbent bisa sangat melimpah, tapi masyarakat bisa saja tetap tidak puas.

Karakter tidak cepat puas ini bisa dilihat dari sisi positif. Di sisi positif, muncul harapan baru dan adanya cita-cita tinggi. Masyarakat ingin mendapat yang paling bagus dan yang paling baik. Ini juga bisa menjadi penyebab orang Minangkabau ingin merantau. Di ranah sulit untuk meraih harapan maksimal karena keterbatasan di daerah. Maka kemudian mereka merantau ke tempat impian yang bisa memenuhi semua harapannya.

Kebiasaan mengkritik (atau cemeeh), juga bisa menggambarkan bahwa kita punya mau tapi tidak sesuai dengan orangnya atau yang dikerjakan orang belum sempurna. Kebiasaan mengkritik muncul karena punya pandangan dalam menilai. Sikap mengkritik ini kadang melihat kepala daerah salah semua atau kurang semuanya. Yang dikerjakan kepala daerah selalu ada kurangnya dan memandang secara negatif saja.

Selain itu, terkait ketidakpuasan adalah jarang memuji orang. Ini juga karakter orang Minangkabau. Atau bahkan pantang memuji orang. Walaupun seseorang itu hebat, pintar, kaya dan cantik maka tetap saja tidak akan dipuji. Kalau memuji kadang dituduh ada maunya.

Masih terkait kepuasan, masyarakat Minangkabau egaliter dalam memperlakukan pemimpin. Dalam ungkapan Minang pemimpin itu “ditinggikan seranting, didahulukan selangkah”. Di Sumbar tidak terjadi hubungan patron-client seperti di Jawa. Pemimpin di Jawa lebih dihargai dan ditinggikan harkatnya.

Kembali mencermati kekalahan kepala daerah di Sumbar, mungkin saja kekalahannya disebabkan oleh hal-hal di atas. Ditambah lagi bila kepala daerah terlihat sombong, angkuh, berkata tidak sopan, pemarah, tidak peduli rakyat dan kurang agamis, maka rakyat pun semakin kurang suka. Ada ungkapan harian yang sering diucapkan di Sumbar yaitu “kok kayo, kayo sorang sajolah nyo, ambo ndak mamintak. Kok pandai, pandai sorang sajolah nyo, ambo ndak batanyo. Kok rancak, rancak sorang sajolah nyo, ambo ndak ka nio. Kok nyo bagak, bagak sorang sajolah nyo, ambo ndak malawan”. Ini ungkapan yang maksudnya, kalau kita sombong maka orang tidak suka.

Masyarakat Minangkabau punya pakem dalam menilai pemimpinnya. Tokoh, takah dan tageh juga ciri yang harus dimiliki oleh pemimpin. Belum lagi sifat sidiq, tabligh, amanah dan fatanah. Dalam adat, juga banyak ungkapan bagaimana sebaiknya seorang pemimpin. Akhirnya wajar kalau ada orang yang menyebut bahwa di Sumbar sulit jadi pemimpin. Salah sedikit, kurang sedikit, gagal sedikit maka bisa menghasilkan ketidakpuasan.

Dengan banyaknya kepala daerah incumbent yang kalah, bisa menjadi pembelajaran atau ibrah bagi kita semua, khususnya bagi kepala daerah yang menjabat dan akan menjabat. Juga bagi para calon kepala daerah ke depan.  ***

Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar

Harian Padang Ekspres 10 Februari 2021