Oleh Irwan Prayitno
Pernahkah Anda menonton pertandingan sepakbola? Sebagian besar masyarakat dunia adalah penggemar sepakbola, termasuk Indonesia. Sejak beberapa pekan ini layar televisi disemarakkan oleh kompetisi sepakbola Euro 2012. Sepakbola menjadi tema yang ramai dibicarakan.
Permainan sepakbola biasanya memiliki komponen-komponen sebagai berikut : pemain, wasit, pelatih, penonton dan aturan permainan. Dinamika kehidupan di dunia bisa diumpamakan seperti sebuah permainan sepakbola. Ada komponen pemain, yaitu aktor atau pelaku dalam kehidupan ini.
Peran wasit dalam tatanan kehidupan diperankan oleh aparat penegak hukum. Ia berfungsi mengawasi dan mengontrol dinamika dalam masyarakat sehingga berjalan baik. Aturan permainan (role play) dalam kehidupan sehari-hari bisa diumpamakan sebagai hukum, undang-undang serta aturan-aturan lainnya. Sedangkan komponen penonton bisa diumpamakan sebagai masyarakat umum yang dominan berfungsi sebagai penilai, evaluator  terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam pertandingan atau permainan tadi.
Pemain sepakbola yang mampu menampilkan prestasi yang baik dan karakter yang baik, biasanya akan mendapat tempat di hati penonton, bahkan jadi idola. Ia dipuja dan dielu-elukan di setiap pertandingan. Rezki tentu segera akan mengikutinya. Nilai kontraknya menjadi meningkat, tawaran pertandingan atau tampil sebagai bintang iklan datang bertubi-tubi.
Kenapa muncul pemain/aktor yang baik, kenapa pula ada pemain yang tidak baik? Kenapa di Indonesia muncul tokoh seperti Bung Hatta atau di India seperti Mahatma Gandhi? Atau sebaliknya kenapa muncul tokoh-tokoh jahat yang melakukan pembunuhan, pencurian, perkosaan, korupsi dan berbagai kasus lainnya?
Jika kita kembali kepada sepakbola tadi, seorang bintang sepakbola lahir karena ia dilatih secara profesional, baik fisik maupun mental, ia dilatih untuk terbiasa. Talenta yang dimiliki seseorang membuat ia cepat mencuat menjadi bintang. Namun sebaliknya akan terjadi jika ia tidak berlatih dengan dan tidak memiliki mentalitas/karakter yang baik.
Dulu para ahli berpendapat bahwa IQ (intelligence quotient)/kecerdasan seseorang, adalah penentu utama kesuksesan seseorang dalam kehidupan. Namun kemudian terbukti bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan tinggi, namun tidak sukses dalam hidup atau karir. Belakangan diakui bahwa justru EQ (emotional quotient ) atau SQ (spritual quotient) yang lebih menentukan keberhasilan seseorang. Para ahli sepakat bahwa keberhasilan seseorang sebanyak 80% dipengaruhi EQ/SQ, hanya 20% saja dipengaruhi oleh IQ.
Fakta inilah yang menyebabkan pendidikan karakter sangat penting. Seperti pada sepakbola tadi, pada pendidikan karakter, siswa dilatih (dibiasakan) melaksanakan ibadah. Mereka dilatih untuk melakukan shalat, puasa,  berbuat baik/membantu orang lain sehingga meningkat kualitas spiritual mereka. Pendidikan tidak berhenti sampai pada proses kognitif, tapi juga harus terpadu dengan afektif dan psikomotorik.
Seperti pada sepakbola, pelatih cuma sedikit mengajarkan teori bagaimana menendang bola agar gol. Selebihnya, para pemain bola melakukan praktik, sehingga mereka bisa tampil prima saat pertandingan, tidak hanya menguasai teori, tetapi juga terlatih dan terbiasa bermain bola dengan baik.
Begitu pula proses pembentukan karakter dalam dunia pendidikan, perlu latihan dan pembiasaan. Agar seseorang bisa menjadi muslim yang baik, tak cukup sekedar menghafal rukun iman dan rukun Islam, tapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, harus dibiasakan. Pembiasaan jamak dipakai dalam ilmu psikologi, biasanya  dikenal dengan istilah conditioning.
Pendidikan karakter juga menjadi topik utama dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini yang bertema “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia.†Dalam acara tersebut Wakil Presiden Boediono mengatakan: “Mendidik bukan sekedar mengembangkan kemampuan nalar anak didik kita, tetapi sangat penting juga membangun karakternya. Pendidikan tidak hanya menyangkut membangun kemampuan otak, tapi juga menumbuhkan kemampuan hati mereka.â€
Maka, lanjut Wapres, tepat rasanya untuk mempertanyakan sejauh ini apa yang telah kita lakukan pada anak-anak didik. Sudahkah kita melaksanakan pendidikan bagi anak-anak didik kita yang seimbang antara mendidik otak dan mendidik hati? Sudahkah kita menyediakan waktu dan tenaga yang cukup untuk mengajarkan kepada mereka untuk mengasihi manusia lain? Apabila tujuan kita adalah menyiapkan anak-anak didik kita agar menjadi warga negara dan bahkan pemimpin yang baik, sudahkah kita memberikan alokasi waktu dan tenaga kita untuk membangkitkan kecintaan mereka kepada tanah air?
Di Sumatera Barat, pendidikan karakter telah lama dimulai. Tanggal 13 Juni lalu, saat peringatan Hari Pendidikan Nasional, Sumbar mendapat penghargaan sebagai pelaksanaan penyaluran Biaya Operasional Sekolah (BOS) tercepat di Indonesia yang diserahkan oleh Wakil Presiden Boediono. Ini sebagai bukti keseriusan komitmen kita terhadap pendidikan.
Ini bukan berarti kita puas dan berhenti sampai di sini. Pekerjaan ini harus dilanjutkan, Sumbar harus menjadi penghasil generasi emas terbaik di Indonesia. Cita-cita itu bukanlah mimpi, sejarah membuktikan dan diakui bahwa Sumbar dari dulu memang terkenal sebagai gudang generasi emas Indonesia. Insya Allah … ***
Padang Ekspres 25 Juni 2012