«

»

Di Adzkia, Dicetak Pemimpin Bangsa

12 Agustus 2015

PADANG — Pergaulannya di kampus Universitas Indonesia di Jakarta ketika menimba ilmu psikologi lebih banyak dengan lingkungan aktivis Islam. Didikan orangtuanya yang berlatar pendidikan agama, membuat Irwan Prayitno muda cepat menyatu dengan komunitas itu di kampus UI.

UI memang bukan pendidikan tinggi yang khusus Islam, tetapi persemaian untuk komunitas Islam sangat membetot perhatian Irwan Prayitno.

Banyak mahasiswa yang kemudian menemukan hidayah ketika sudah kuliah di kampus UI, padahal mereka tidak berasal dari pendidikan dasar dan menengah yang berbasis Islam. Maka dapat dibayangkan kalau pendidikan dini sampai dasar dan menengah yang berbasis Islam dikelola dengan profesional, bukan tak mungkin kelak melahirkan ilmuan dan itelektual Islam yang handal untuk turut serta membesarkan Indonesia.

Pikiran itulah yang terus mengusik Irwan Prayitno, putra Taratak Paneh, Kuranji Padang ini.
“Jadi selepas kuliah dan mendapat gelar sarjana saya pulang ke Padang. Saya berniat mendirikan sekolah yang berbasis Islam. Saya lihat pada pengujung tahun 80an itu belum ada sekolah seperti itu di Padang. Barangkali ada di Padang Panjang seperti Dinniyah Putri atau Thawallib,” kata Irwan, yang kini bergelar Datuk Rajo Bandaro Basa ini.

Tapi harus diakuinya bahwa mendirikan sekolah seperti Dinniyah Putri dan Thawallib di Padang Panjang itu atau seperti Al Azhar di Jakarta tentu tidak sedikit modalnya. Mau mengandalkan orang tuanya yang menjadi staf pengajar di IAIN Imam Bonjol, juga tidak cukup sementara orang tua juga punya tanggung jawab yang besar untuk semua anggota keluarga mereka.

Irwan adalah tipikal yang tak gampang menyerah untuk mewujudkan impian-impiannya. “Pendidikan kan tidak berarti seperti sekolah formal SD, SMP atau SMA. Menambah atau meningkatkan kemampuan peserta didik di luar sekolah mereka adalah juga pendidikan. Namanya pendidikan luar sekolah,” kata Irwan, yang juga hobi mengendari sepeda motor trail. Kata Irwan, jalan menuju sukses itu tidak harus jalan datar, kadang berliku dan sulit. Jadi seperti menempuh perjalanan dengan motor trail, semak belukar, lumpur, bebatuan, Insya Allah bisa ditempuh.

Irwan menerjemahkan semangat seperti dengan ‘menggunakan akal’. Jika mendirikan sekolah perlu modal, maka modalnya harus dicari. Cari uang dengan uang, menurut dia adalah cara yang memungkinkan banyak orang bisa sukses. Tapi kalau cari uang dengan akal, ini baru menantang.

Agar bisa mendirikan sekolah, Irwan memilih mendirikan lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel). Inspirasinya ia peroleh ketika dari tahun ke tahun di UI dulu ia melihat banyak yunior-yuniornya masuk ke Bimbel dulu sebelum berasing mengikuti ujian masuk PTN.

“Saya mau Bimbel yang Islami juga untuk merintis jalan ke sekolah Islami,” kenang Irwan. Tahun 1988 ia mengajak beberapa temannya alumni Unand, ITB, UGM, UI dan sebagainya menjadi pengajar di Bimbel yang diberi nama Adzkia.

Gedung PGAI yang di kawasan Jati Padang yang disewa menjadi saksi bisu bagaimana Irwan dan kawan-kawannya berjumpalitan membangun Bimbel itu. Irwan dan teman-temannya mau datang ke sekolah-sekolah membagikan brosur tentang Bimbel Adzkia kepada anak-anak SMA.

Awalnya memang agak sulit, tetapi setelah terus berusaha tanpa kenal lelah akhirnya sampai juga peserta didiknya 60 orang. Tahap pertama itu cukuplah untuk melunasi sewa gedung yang memang diminta oleh yang empunya gedung setelah dua bulan.

Luar biasa, pada permulaan tahun 90an Bimbel Adzkia itu meledak siswanya setelah dalam sebuah uji coba ujian try out ternyata para siswa bisa mengukur kemampuannya melihat seberapa besar peluangnya masuk perguruan tinggi tertentu dengan cara membandingkan nilai try out dengan passing grade masing-masing jurusan di berbagai PTN.

Banjir peserta itu akhirnya mendatangkan berkah bagi Irwan dan kawan-kawan, ia mulai mendekatkan impiannya dengan kenyataan. Dari hasil Bimbel yang ia tabung, mulailah Irwan mengembangkan Adzkia mendirikan Taman Kanak-kanak. “Ini peluangnya sangat besar waktu itu, belum banyak TK yang dikelola profesional berbasis Islam.

TK Adzkia, pada permulaan tahun 1990an tiba-tiba menjadi sorotan. Promosi dari mulut ke mulut yang menyebutkan bahwa anak-anak TK Adzkia sangat berbeda dengan anak-anak TK lain karena pendekatan pengajarannya yang penuh kasih sayang serta Islami itu telah mengusik ibu-ibu untuk memasukkan anaknya ke TK Adzkia.

“Karena tak mampu belui tanah, maka saya dihibahkan tanah oleh ibu saya di Taratak Paneh, di situ saya mulai mendirikan TK Adzkia. Alhamdulillah karena doa ibu dan bimbingan ayah, semua berjalan lancar. Murid-murid makin banyak, bahkan kami harus melakukan seleksi masuk TK untuk membatasi jumlah lantaran kami kekurangan tempat dan guru,” kenang suami Ny. Nevi ini.
Padahal sepanjang 90an itu, Irwan harus pindah ke Malaysia bersama istri dan anaknya karena melanjutkan pendidikan S2 di sana. Allah memang menuntun ke arah yang baik rupanya, TK Adzkia berkembang. Dari hanya satu di Taratak Paneh, kemudian dibuka di Komplek GOR Agus Salim, di Tabing, di Bukittinggi dan Payakumbuh.

Cita-cita Irwan mendirikan sekolah dari jenjang terendah hingga yang tinggi agar asuhan keislaman tak putus di tengah jalan karena Adzkia tak menyediakan sekolah lanjutannya. Karena itu kemudian SD Islam Terpadu Adzkia didirikan di Taratak Paneh. Hingga anak-anak sampai di kelas VI, maka Yayasan Adzkia pun menyiapkan SMP Adzkia. Sementara itu, sebelumnya sudah ada SMK Elektronika Adzkia, “Sedang SMA belum kita siapkan,” katanya.

Dan kini amat mencengangkan, hamparan tanah yang luas di pinggir sungai di Taratak Paneh menjadi tempat berdirinya sekolah-sekolah Adzkia. Ada PAUD, TK, SD, SMP, SMK dan ada PGTK Adzkia, AKIA dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah. Kini Adzkia mengantungi izin penyelenggaraan STKIP Adzkia program S1 PG-PAUD dan PGSD di bawah Kementerian Pendidikan Nasional dengan Nomor Izin 111/D/O/2009. Upaya kerja keras sejak zaman Bimbel itu, kini sudah bernilai tak kurang dari Rp70 miliar.(**)

Metro Andalas, 12 Agustus 2015