«

»

Mau Maju? Harus Sejahtera Dulu…!!

19 Agustus 2015

Laporan: RYAN SYAIR

Adalah benar, jika kesejahteraan kerap dijadikan sebagai jualan seseorang untuk ‘membeli’ banyak hati. Karena memang, hidup sejahtera adalah mimpi bagi setiap orang. Mimpi bagi saya, bagi anda dan bagi kita semua. Namun, kemana harus mengejar dan bagaimana pula untuk menggapainya?

Mencari kesejahteraan, belakangan ini bisa diibaratkan seperti berputar-putar mengejar satu fatamorgana, untuk kemudian tersesat di fatamorgana yang lain. Namun, anggapan itu dibantahkan oleh Irwan Prayitno (IP). Meraih dan mewujudkan kesejehteraan menurut mantan Gubernur Sumbar ini, bukanlah mimpi muluk. Sejahtera, bukanlah fatamorgana yang hadir untuk sekedar menjanjikan pemuas dahaga, apalagi menjerumuskan kepada binasa.

“Menjadi sejahtera itu tidak hanya sekedar mencatatkan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tidak pula karena negeri kita kaya, maju dalam bidang teknologi dan tingginya tingkat industrialisasi dan modernisasi,” kata IP menjawab Haluan dalam diskusi santai bersama sejumlah wartawan, Selasa (18/8).

Dalam kacamata yang berdimensi lebih luas, IP mendefinisikan “kesejahteraan” tidak hanya sekedar capaian yang melampaui dari ukuran-ukuran angka pertumbuhan ekonomi semata. Bagi IP, kesejahteraan berarti semakin terbukanya kesempatan dan kemampuan (capability) untuk mendapatkan hak-hak dasar sebagai seorang manusia.

Sebut saja cukup dan terpenuhinya kebutuhan pangan, mendapatkan pendidikan dasar yang memadai, bebas dari buta huruf, selalu dalam keadaan sehat, terhindar dari kematian (avoiding escapable morbidity), atau berupa kondisi abstrak semisal menjadi bahagia, dihormati, bebas dari rasa takut, bebas dari ancaman penghilangan secara paksa, bebas mengemukakan pendapat, serta bisa berpartisipasi dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

“Saya lebih melihat kesejahteraan itu dari dua sisi. Yang pertama dari sisi psikis atau moril yang meliputi sosial, agama, budaya dan lainnya, serta dari sisi fisik atau materil. Jadi, pendekatannya lebih kepada pemberdayaan dan pengembangan sumber daya manusia, atau yang lebih dikenal dengan Human Development Index,” ujar IP.

IP mengakui, jika bagi kebanyakan orang, HDI kerap dikaitkan dengan sekedar urusan pengembangan sumber daya manusia, atau pengembangan SDM dalam arti sempit. Namun lanjut IP, HDI sesungguhnya akan mampu membawa paradigma baru yang akan menjungkirbalikkan cara pandang tentang pembangunan, tentang apa yang harus dicapai, ke arah mana pembangunan harus dilakukan, serta siapa-siapa yang harus disentuh oleh pembangunan itu sendiri.

Apa yang disampikan IP, bukan tidak beralasan. Melihat lebih detail ke dalam daftar ranking kesejahteraannya dari 180 negara di dunia, sejumlah fakta soal definisi sejahtera memang menunjukkan realita terbalik dari sudut pandang banyak orang soal definisi kesejahteraan itu sendiri. Lihat saja negara-negara “imut” (karena kecil luasannya) seperti Norwegia, Islandia, dan Switzerland, yang ternyata rakyatnya lebih sejahtera dibandingkan negara-negara besar semisal Jepang, Amerika Serikat ataupun Inggris. Bahkan, Norwegia berada di urutan paling puncak sebagai negara yang paling sejahtera.

“Khusus di Sumatera Barat, sesuai dengan kultur masyarakatnya, mewujudkan daerah dan masyarakat sejahtera itu harus dilakukan melalui tiga pola pendekatan, yakni geografis, budaya dan prilaku. Apalagi kita sama-sama mengetahui, bahwa karakter masyarakat Minang bukanlah tipe yang dipekerjakan, melainkan harus diberdayakan. Saya yakin, pola ini akan mampu dalam mengurai kemiskinan dan menjadi langkah paling bernas untuk meraih kesejehteraan,” pungkas IP.

Budaya dan kebiasaan orang minang sebut IP, memperlihatkan program pemberdayaan masyarakat sangat baik dan memberikan dampak positif bagi kemajuan daerah, terutama dalam upaya menuntaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Jika di provinsi lain dapat melakukan program dengan pengembangan bidang industri, dan program usaha yang membutuhkan banyak tenaga kerja, di Sumatera Barat justru sebaliknya.

“Tipe masyarakat Sumatera Barat tidak memiliki bakat sebagai buruh atau pekerja harian. Mereka lebih suka menyandang status sebagai wirausaha, walaupun sebagai usahawan kecil dan menengah. Nah, inilah yang harus diberdayakan. Jadi, tidak usah dulu terlalu jauh untuk berfikir maju (punya gedung-gedung bertingkat, punya banyak pabrik, industri dll). Karena jelas, indikator sejahtera tidak hanya sebatas itu. Untuk bisa maju, semua harus sejahtera dulu,” pungkas pria sederhana yang memegang tegus prinsip efisien, efektif dan produktif itu.

Tidak Mengurus Partai

Dalam kesempatan itu, IP juga membantah rumor tak sedap yang menyebutkan bahwa selama lima tahun memimpin Sumbar (2010-2015), dirinya hanya sibuk mengurus partai (PKS). Hal itu jelas IP, adalah tuduhan yang terlalu mengada-ada dan tanpa alasan. Buktinya, begitu ditetapkan sebagai Gubernur Sumbar, IP bahkan mengaku langsung dicopot dari jabatan kepartaiannya sebagai Ketua MPP di DPP PKS.

“Tuduhan itu (sibuk mengurus partai) adalah sangat tidak benar. Sejak menjadi gubernur, saya bahkan tak pernah lagi terlibat dengan urusan partai. Kecuali sekali dua tahun dalam kapasitas fungsional sebagai anggota majelis syuro. Lagipula, hal ini juga telah menjadi aturan baku bagi PKS. Dimana setiap kader yang terpilh menjadi pebajat publik, sepenuhnya akan dihibahkan untuk kepentingan masyarakat dan tidak akan diganggu dengan berbagai urusan partai,” terang IP.

IP juga membantah banyaknya tudingan yang menyebut bahwa dirinya dikelilingi oleh orang-orang partai. Baik di lingkungan internal, maupun kedinasan dan pemerintahan (SKPD). “Tidak benar itu. Lihat saja semua yang tengah menjabat saat ini (SKPD). Mana ada yang orang partai. Sebagian besar mereka adalah pejabat-pejabat yang sudah ada di pemerintahan sebelum saya (Gamawan Fauzi). Saya juga tidak mengerti dengan banyaknya tuduhan dan tudingan-tudingan miring yang mengarah kepada saya. Tapi biarlah, Allah itu tidak tidur dan saya yakin masyarakat jauh lebih cerdas,” tukuk IP. (**)

Haluan, 19 Agustus 2015