Indikator penilaian perÂhitungan dengan perÂbanÂdingan bulan September (2012) dan MaÂret (2013)
Padang, Padek—Gubernur SumÂbar IrÂwan Prayitno merespons data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2013, yang melansir persenÂtase penduduk miskin Sumbar naik dari 8,00 persen (September 2012) menjadi 8,14 persen. Menurut Irwan data yang dirilis BPS tersebut meÂngesankan pemprov bersama pemÂkab/pemko tak berbuat apa-apa. Padahal telah banyak program dilaksanakan untuk mengurangi angka kemiskinan.
Â
“Yang benar itu, jumlah penÂduduk miskin di Sumbar dari Maret 2012 hingga Maret 2013 telah meÂngaÂlami penurunan daÂri 8,19 persen menÂjadi 8,14 persen. Turun 0,05 persen pada peÂrioÂde tahun sama,†ujar IrÂwan Prayitno kepada Padang Ekspres di ruÂmah dinasnya usai perÂtemuan dengan BPS Sumbar, Selasa (2/7).
Â
Lebih lanjut, menuÂrut Irwan, indikator penilaian perÂhitungan dengan perÂbanÂdingan bulan September (2012) dan MaÂret (2013), tak tepat. Sebab tidak diukur daÂlam rentang waktu dan kondisi yang sama. SeÂdangkan BPS Sumbar menilai perÂhituÂngan angÂka kemisÂkinan terÂsebut merupakan angÂka sementara, yang seÂwakÂtu-waktu dapat berubah. PasalÂnya, survei ekonomi yang dilakukan BPS dua kali setahun. Yakni setiap Maret dan September. Di sinilah terdapat perbedaan persepsi terhaÂdap ekspos persentase kemiskinan.
Â
Jika perhitungan persentase kemiskinan menggunakan survei kemiskinan, lanjut Irwan, harusnya diukur dalam periode waktu yang sama (year of year). “Perhitungan Maret, perbandingannya harus di bulan Maret tahun sebelumnya, bukan berdasarkan bulan berbeda. Karena pada periode itu, kan ada perbedaan musim dan masa panen,†ujar Irwan didampingi Kepala BPS Sumbar, Yomin Tofri.
Â
Irwan menjelaskan, dibanding persentase kemiskinan secara nasioÂnal, kemiskinan di Sumbar jauh lebih rendah. Secara nasional 11,02 persen, sementara Sumbar hanya 8,14 persen.
Â
Persentase 8,14 persen tersebut, dinilai Irwan, sudah angka maksimal bisa dicapai di daerah yang sebagian besar mata pencarian penduduknya bertani. Pasalnya, untuk daeÂrah penghasil minyak sekaliÂpun (tingkat kemiskinan Riau 7,7 persen), angka 5 persen saja masih dinilai angka wajar untuk tingkat kemiskinan.
Â
Mantan anggota DPR RI itu menambahkan, peningÂkatan persentase kemiskinan mengÂgunakan indikator perÂhitungan September–Maret tak bisa diÂjadikan ukuran kegagalan peÂmerintah meÂngenÂtaskan jumÂlah penduduk miskin.
Â
Dalam data BPS, jumlah penduduk miskin di Sumbar Maret 2013 sebanyak 407. 470 jiwa. Bila diukur dari September 2012, meningkat 9. 615 jiwa. Tapi diukur dari Maret 2012, tetap terjadi penurunan kemiskinan. Menurut wilayah, di pedesaan meningkat 14.337 jiwa, sebaliknya jumlah penÂduduk miskin perkotaan meÂnurun 4.722 jiwa.
Â
Terjadinya peningkatan jumlah penduduk miskin di pedesaan, karena 90 persen masyarakat di pedesaan mengÂgantungkan hidup dari pada komoditi ekspor, terutama sawit dan karet. Rinciannya, 57 persen bergantung pada eksÂpor sawit, dan 30 persen pada karet. Kendati produktivitas petani meningkat, namun harÂga jual komoditi itu di pasar internasional rendah. OtoÂmatis, pendapatan yang diteÂrima petani menjadi rendah.
Â
“Tentunya dengan penuÂrunan harga di tingkat dunia, akan mengurangi kesejahÂteraan masyarakat di pedeÂsaan. Makanya, ketika survei dilakukan BPS bulan Maret, mereka termasuk dalam keÂlomÂpok masyarakat miskin,†ujarnya.
Â
Suatu hal yang perlu dipaÂhami, kata Irwan, pemprov tidak bisa mengatur harga pasar komoditi tingkat dunia. “Masa pengaruh harga di tingÂkat dunia juga dijadikan indiÂkator kinerja pemerintah. InÂdikator kinerja yang dapat diukur adalah pertumbuhan ekonomi. Sejauh ini, perÂtumÂbuhan ekonomi di Sumbar sudah di atas nasional. NaÂsional 6,02 persen, di Sumbar justru 7 persen. Silakan kroÂsÂcek ke BPS terkait data terÂsebut,†tuturnya.
Â
Untuk pengentasan kemisÂkinan yang dilakukan pemÂprov, kata Irwan, Sumbar telah memÂbuat program Gerakan PeÂnyeÂjahteraan Petani (GPP), Gerakan Pemberdayaan MasyaÂrakat PeÂsisir (Gepemp), gerakan untuk mendorong UMKM.
Â
“Sebelum saya jadi guÂbernur, tingkat kemiskinan Sumbar 10 persen, sekarang telah 8,14 persen. Meskipun terjadi penurunan hanya 0,05 persen dari tahun 2012, tetap hargailah upaya kami. Seakan-akan selama ini, kami tak bekerja,†ungkapnya.
Â
Ukur Periode yang Sama
Â
Di tempat yang sama, YoÂmin Tofri mengatakan untuk mengukur persentase tingkat kemiskinan, seyogianya meÂmang diukur dalam periode waktu sama. “Sumbar telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan jika diukur berdaÂsarkan periode waktu sama. Bahkan tingkat kemiskinan Sumbar, di bawah nasional. Untuk mengukur kinerja peÂmeÂrintah, dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekoÂnomi. Capaian Sumbar di atas nasional,†jelasnya.
Â
Diakuinya, tiap tahun BPS memang melakukan dua kali survei, setiap Maret dan September. “Tingkat kemiskinan Sumbar di pedesaan memang meningkat, sedangkan di perÂkotaan menurun. Masyarakat di pedesaan mengandalkan komoditi ekspor yang sangat tergantung dari harga dunia dan pemerintah tak bisa meÂngatur harga di pasar dunia itu,†ulasnya.
Â
Selain masih rendahnya harga komoditi ekspor, faktor lain yang membuat penduduk miskin bertambah, kata YoÂmin, karena pengaruh laju inflasi. Informasi kenaikan harga BBM, telah membuat harga berbagai kebutuhan pokok meningkat. “Dengan harga meningkat ini, maka kemampuan masyarakat memÂbeli barang kebutuhan pokok juga berkurang. Inilah yang kita pakai sebagai indiÂkatornya dari survei ekonomi,†tukasnya.
Â
Yomin mengatakan seiring keÂmampuan pemerintah meÂngendalikan inflasi dan harga komoditi ekspor membaik di tingkat dunia, dengan senÂdirinya jumlah atau persentase penÂduduk miskin juga akan beÂrubah. “Kalau semuanya memÂbaik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, perÂsentase yang ada sekarang bisa berubah. Demikian juga seÂbaliknya. PeÂmerintah meÂmang lebih berÂperan mengendalikan inflasi di daerah,†jelasnya. (ayu)
Padang Ekspres 3 Juli 2013