«

»

Masyarakat Nagari Miliki Akses Kelola Hutan

24 Januari 2018

• Sapto Andika Candra

PADANG — Masyarakat nagari, setingkat desa,di Sumatra Barat kini memiliki akses legal terhadap hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Masyarakat nagari yang secara struktur termasuk masyarakat adat, kini diperbolehkan memanfaatkan kawasan hutan untuk pengembangan usaha sepanjang kelestariannya terjaga.

Akses legal atas kawasan hutan ini dituangkan dalam lima bentuk skema pengelolaan, yakni hutan nagari atau hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

Hal ini diatur dalam skema perhutanan sosial yang diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak 2017 lalu.

Gubernur Sumatra Barat irwan Prayitno (IP)menyebutkan, Sumatra Barat kebagian 500 ribu hektare perhutanan sosial yang bisa dimanfaatkan masyarakat nagari atau adat.

Dari angka tersebut, hanya 80 ribu hectare hutan yang telah memiliki surat keputusan (SK) pemanfaatan untuk masyarakat dan 120 ribu hektare lagi masih diurus di KLHK

IP menilai, pemberian legalitas bagi masyarakat adat untuk mengelola hutan merupakan salah satu jurus untuk mengentaskan kemiskinan.Selama ini, kata dia, kemiskinan yang menghantui penduduk yang tinggal di kawasan hutan lantaran terbatasnya akses mereka terhadap hak pengelolaan.

Padahal, IP meyakini, masyarakat adat, terutama yang tinggal dekat dengan hutan, memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan.

Kalau masyarakat di sekitar hutan yang bisa manfaatkan hutan saya jamin hutan akan lestari. Namun kalau yang datang orang luar, dengan modal yang besar, hutan akan rusak,” ujar IP, Selasa(23/1).

Pemprov Sumbar mencatat, saat ini terdapat 800 nagari dari sekitar 923 nagari di Sumbar yang berbatasan dengan kawasan hutan atau berada di dalam kawasan hutan.

Angka tersebut, menurut IP, menekankan betapa masyarakat di Sumatra Barat memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan hutan.IP memilih menyerahkan kepercayannya kepada masyarakat adat untuk mengelola hutan ketimbang secara gegabah mengizinkan pemodal besar masuk kawasan hutan.

“Hutan kini bisa dia apa-apain. Tanam jengkol bisa. Padahal jengkol ini selama ini menyumbang inflasi di Sumbar. ujar IP.

Namun, IP mewanti-wanti, permasalahan lain siap menunggu setelah hak pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat adat, yakni kemampuan  masyarakat dalam mengakses pasar.

Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Sumatra Barat Riche Rahma Delvita menjawab keresahan yang diungkapkan Gubernur Sumbar. Riche bersama komunitas yang dia pimpin mencoba memfasilitasi masyarakat nagari yang tinggal di kawasan hutan agar mampu mengelola dan memasarkan produk usahanya. Hingga Januari 2018, tetcatat ada 13 kelompok dari 13 nagari di Sumatra Barat yang berhasil memasarkan 30 produk berbasis masyarakat.

KKI Warsi mengoneksikan masyarakat adat dengan perbankan agar pinjaman atau pembiayaan bisa diperoleh di awal. Tak hanya itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat adat juga diikutkan berbagai pameran untuk menggaet pasar lebih luas.

 

Republika, 24 Januari 2018