«

»

Liam dan Laila

11 Oktober 2018

Pada 4 Oktober 2018 lalu saya bersama keluarga, sahabat dan staf menghadiri acara nonton bareng pemutaran perdana film “Liam dan Laila”. Acara bertempat di Studio XXI Transmart, Padang. Film ini menceritakan potret kekinian wajah orang Minang yang masih berpijak kepada nilai-nilai agama yang bisa bersanding dengan adat budaya.

Sebagian film memperlihatkan latar wilayah Sumbar seperti Ngarai Sianok, Lembah Anai, dan Lembah Harau, serta Kota Bukittinggi. Film ini dilatarbelakangi kisah cinta antara Liam yang orang Prancis dengan Laila yang orang Bukittinggi. Liam awalnya mencari informasi tentang Islam di dunia maya. Ia ingin mengetahui apa itu Islam, dan tidak ingin terkecoh dengan berbagai pemberitaan media.

Di tengah pencariannya ia bertemu Laila di dunia maya dan bertanya banyak kepada Laila tentang Islam. Jawaban Laila memberikan informasi baru bagi Liam tentang Islam. Dan kemudian Liam jatuh cinta serta ingin menikahi Laila. Maka ia pun berangkat dari Prancis menuju Bukittinggi dengan visa selama 30 hari.

Ketika Liam berjumpa Laila dan orangtuanya di Kebun Binatang Bukittinggi, orangtua Laila terkejut dengan calon Laila. Paman Laila yang datang belakangan juga terkejut ketika melihat Liam. Karena tidak menyangka calon Laila adalah lelaki non muslim.

Kemudian dari pihak ibu Laila mengadakan musyawarah keluarga untuk memutuskan kelanjutan permintaan Liam yang menginginkan menikahi Laila. Di sini diperlihatkan tentang potret matrilineal di Minang yang juga bersanding dengan ajaran Islam. Yaitu Liam harus masuk Islam. Dan tidak cukup itu, Liam juga harus bersunat bahkan akhirnya harus salat dan bisa baca Alquran. Dan urusan pernikahan Laila ini diurus oleh pamannya (mamak) yang berasal dari keluarga ibu Laila.

Di sini diperlihatkan bahwa orang Minang adalah orang Islam. Maka jika ingin menikahi perempuan Minang sang lelaki yang bukan muslim harus masuk Islam terlebih dahulu. Jika melihat fenomena saat ini di berbagai wilayah di Indonesia, ada juga wanita yang muslim justru harus berpindah agama mengikuti agama calon suami. Film Liam dan Laila justru memperlihatkan prinsip orang Minang dalam pernikahan, yang harus berpegang kepada ajaran Islam.

Kehebohan keluarga Laila terhadap Liam yang berasal dari Prancis dan bukan muslim menjadi salah satu titik tekan dalam film ini yang juga mengundang gelak tawa penonton. Saya menilai sutradara atau penulis naskah mampu dengan baik memberikan penjelasan yang mudah dimengerti oleh penonton mengenai pernikahan di Minangkabau.

Di film ini juga diperlihatkan bagaimana Liam yang ingin menikah telah menyiapkan surat-surat keterangan yang berlaku di negaranya. Namun ketika dihadapkan dengan kondisi Indonesia, ternyata ada aturan yang harus dipenuhi. Sehingga Liam, paman dan kakak Laila harus berjibaku mengurus surat-surat hingga ke Jakarta.

Akhirnya, syarat menikah Liam selesai dan waktu tersisa sesuai izin visa semakin dekat. Maka keluarga Laila yang juga sudah mengikuti perkembangan Liam akhirnya memutuskan bisa menerima Liam sebagai calon suami Laila. Dan Laila juga angkat bicara siapa calon suami yang akan dinikahinya, karena di waktu yang bersamaan ada juga laki-laki yang datang ke rumahnya untuk melamar.

Selain itu diperlihatkan adanya ketidaksetujuan dari beberapa keluarga dari pihak ibu Laila terhadap proses menuju pernikahan yang sedang dijalani sehingga menimbulkan ketidaksetujuan beberapa ninik mamak. Keluarga Laila yang sudah menjelaskan duduk masalahnya akhirnya memutuskan tetap jalan. Di sini diperlihatkan bahwa hal prinsip dan pokok yaitu ajaran Islam menjadi prioritas, dan diikuti adat budaya. Ada sedikit masalah dalam hal adat, namun ternyata bukan yang prinsip, dan sebenarnya bisa dicari solusinya jika dibicarakan dengan komunikasi yang baik.

Karena yang pokok sudah dipenuhi maka ada beberapa rangkaian adat yang tidak dilakukan dalam proses pernikahan Liam dan Laila. Mengingat Liam memiliki keterbatasan waktu terkait izin visa di Indonesia. Dan paman Laila yang akhirnya mengambil cuti untuk mengurus pernikahan Laila, setelah sebelumnya mendapat peringatan di kantornya akibat sering bolos mengurusi amanat keluarga Laila. Ini merupakan potret kondisi kekinian orang Minang yang harus berhadapan dengan perkembangan zaman. Dan bisa disesuaikan tanpa mengurangi nilai yang prinsip.

Film Liam dan Laila bisa disebut sebagai sebuah film yang ikut mempromosikan adat dan budaya Minang sekaligus promosi destinasi wisata Sumbar seperti Jam Gadang Bukittinggi, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Kota Bukittinggi. Selain itu juga ikut mengenalkan ajaran Islam dan kehidupan umat Islam Indonesia, khususnya Sumatra Barat.

Saya mengapresiasi film Liam dan Laila ini. Semoga masyarakat Sumbar dan juga Indonesia bisa menonton film ini karena penuh dengan pesan moral. Dan semoga akan ada lagi film yang memotret alam dan masyarakat Minangkabau dari berbagai sudut pandang sehingga orang Minang semakin bangga dengan keminangannya dan juga keislamannya, serta orang luar pun bisa semakin mengenal alam dan masyarakat Minangkabau dalam konteks kekinian. ***

Irwan Prayitno
Gubernur Sumbar

Singgalang, 11 Oktober 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>